Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kekhawatiran mendalam terhadap dampak kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap stabilitas perekonomian global. Dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI yang digelar di Jakarta pada Selasa (8/4/2025), Sri Mulyani menyebut kebijakan tersebut sebagai “risiko yang luar biasa” bagi sistem perdagangan dunia yang selama ini dijalankan berdasarkan prinsip keterbukaan dan aturan.
Pernyataan tersebut merespons serangkaian kebijakan tarif kontroversial yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump sejak Februari hingga April 2025. Kebijakan tersebut mencakup pengenaan tarif 10% terhadap produk dari Kanada, yang kemudian ditambah 25% khusus untuk sektor energi, 25% terhadap produk dari Meksiko, dan 10% terhadap produk dari China. Puncaknya adalah Perintah Eksekutif pada 4 Maret yang menaikkan tarif terhadap berbagai produk dari China sebesar 20%, yang kemudian memicu aksi balasan atau retaliasi dari Kanada. Kebijakan tersebut, menurut Sri Mulyani, telah mengguncang fondasi sistem perdagangan global.
“Timeline ini menggambarkan, hanya dalam sebulan, dunia yang tadinya diatur berdasarkan aturan (rule based), kini kehilangan kepastian,” ujar Sri Mulyani. Ia menekankan pentingnya Indonesia untuk meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan beradaptasi terhadap dinamika global agar tidak terus-menerus berada dalam posisi terkejut dan rentan.
Baca juga: Buyback Saham Tanpa RUPS Melonjak! 16 Emiten Sudah Ajukan

Lebih lanjut, Sri Mulyani juga mengkritik keras kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan AS terhadap 60 negara. Menurutnya, metode penghitungan tarif tersebut tidak rasional dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi konvensional. “Ini sudah tidak berlaku lagi ilmu ekonomi. Yang penting pokoknya tarif duluan. Karena tujuannya menutup defisit. Tidak ada ilmu ekonominya di situ,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa pendekatan tersebut semata-mata bersifat transaksional, tanpa mempertimbangkan keseimbangan perdagangan jangka panjang dan prinsip dasar ekonomi internasional. “Menutup defisit itu artinya saya tidak ingin tergantung atau beli kepada orang lain lebih banyak dari apa yang saya bisa jual kepada orang lain. Itu it’s purely transactional, nggak ada landasan ilmu ekonominya,” pungkasnya.
Dengan situasi ini, Sri Mulyani mengajak semua pihak, terutama pelaku ekonomi di Indonesia, untuk bersiap menghadapi tantangan global dan terus menjaga ketahanan ekonomi nasional melalui diversifikasi pasar, peningkatan daya saing ekspor, dan penguatan kerja sama regional.
Baca juga: Awas! Perang Dagang Bikin Dana Jumbo Kabur!















