InfoMalang – Berbincang dengan ChatGPT berbasis kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT kini menjadi fenomena populer di kalangan generasi muda. Banyak orang yang menggunakannya bukan hanya untuk membantu pekerjaan atau belajar, tetapi juga sebagai tempat bercerita hingga memuaskan perasaan pribadi. Pertanyaannya, apakah kebiasaan curhat kepada ChatGPT ini sehat secara psikologis?
Psikolog klinis Ghina Sakinah Safari menyediakan terkait tren ini. Menurutnya, berbagi cerita kepada ChatGPT masih dapat dianggap sehat jika digunakan secara tepat, misalnya sebagai media eksplorasi awal sebelum mencari bantuan profesional. “Selain itu, juga masih sehat jika sekadar menjadi alat bantu berpikir, menulis jurnal, atau memahami emosi,” jelas Ghina ketika diwawancarai beberapa waktu lalu.
Namun, Ghina menegaskan bahwa ada batasan yang perlu diperhatikan. Jika interaksi dengan ChatGPT sudah menggantikan hubungan manusia secara nyata atau membuat seseorang mengisolasi diri dari lingkungan sosial, hal tersebut justru bisa menjadi tanda yang perlu diwaspadai.
Baca Juga: Hepatitis Merebak, 323 Kasus Ditemukan di Malang Raya dalam Waktu 7 Bulan
Biasa atau Tidak? Tergantung Tujuan dan Frekuensi
Ghina menekankan bahwa normal atau tidaknya kebiasaan curhat ke ChatGPT bergantung pada frekuensi dan tujuan penggunaannya. Apabila ChatGPT hanya digunakan untuk menuangkan ide atau mengolah perasaan sebelum bercerita kepada orang lain, maka hal ini masih dalam kategori aman.
Namun, masalah muncul jika seseorang terlalu nyaman berbincang dengan AI dibandingkan manusia seperti keluarga, sahabat, atau terapis. “Jika lebih memilih AI daripada berkomunikasi dengan manusia, ini bisa menjadi tanda keterisolasian emosional. Ini sudah termasuk ‘red flag’ yang perlu diperhatikan,” kata Ghina.
Kondisi ini bisa semakin berisiko jika seseorang mulai menjadikan chatbot sebagai satu-satunya sumber dukungan emosional. Menurutnya, ketergantungan berlebihan pada chatbot dapat membuat seseorang terjebak dalam ilusi hubungan, yakni merasa bahwa chatbot adalah teman sejati yang benar-benar memahami mereka.
Ketika Chatbot Menjadi Pelarian
Menurut Ghina, kebiasaan curhat yang sudah tidak sehat bisa ditandai dari tekanan emosional ketika tidak mendapat respon dari chatbot. “Ini mulai tidak sehat juga jika seseorang mengalami tekanan emosional ketika tidak bisa berbicara dengan bot, atau merasa bahwa chatbot adalah satu-satunya tempat aman untuk bercerita,” ujarnya.
Jika situasi ini terjadi, maka orang tersebut perlu segera mencari bantuan profesional. Chatbot memang dapat membantu meringankan beban pikiran secara sementara, tetapi tidak bisa menggantikan komunikasi manusia yang bersifat empatik dan penuh nuansa emosional.
Batasan Penting: Chatbot Bukan Terapis
Ghina mengingatkan bahwa chatbot AI bukan pengganti psikologi atau psikiater. Meski mampu meniru gaya bahasa manusia, chatbot tidak dapat memberikan diagnosis ataupun terapi yang tepat. “Untuk masalah kesehatan mental, tetap harus melibatkan tenaga profesional agar mendapatkan penanganan yang benar,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa informasi yang diberikan oleh chatbot bisa saja tidak akurat atau bahkan pelayaran. Dalam konteks kesehatan mental, ini meremehkan keadaan seseorang jika ia mengandalkan informasi tersebut tanpa klarifikasi kepada ahli.
Risiko dan Keamanan Data
Selain dari sisi psikologis, penggunaan chatbot juga menyimpan risiko keamanan data . Ghina pentingnya tidak membagikan informasi pribadi yang bersifat sensitif , seperti identitas lengkap, alamat, atau data finansial, ketika berbincang dengan chatbot.
“ChatGPT sendiri tidak menyimpan pribadi pengguna untuk kepentingan individu, tetapi kita tetap perlu berhati-hati. Jangan pernah membagikan data yang bisa membahayakan privasi,” jelasnya.
Menjadikan Chatbot sebagai Alat Bantu yang Tepat
Alih-alih menjadikan chatbot sebagai ‘teman curhat’ utama, Ghina menyarankan masyarakat untuk memanfaatkan AI secara bijak, misalnya sebagai sarana menulis jurnal, mengeksplorasi ide, atau memahami emosi sebelum berdiskusi dengan orang lain.
“Chatbot bisa digunakan untuk mengasah pemahaman diri. Namun, jangan sampai menggantikan fungsi manusia sebagai tempat berbagi perasaan dan mencari dukungan emosional,” tuturnya.
Ia juga menekankan pentingnya memiliki dukungan jaringan yang nyata, seperti keluarga, sahabat, atau komunitas, agar seseorang tidak merasa kesepian ketika menghadapi masalah. Chatbot hanya dapat menjadi pelengkap, bukan solusi utama untuk permasalahan emosional yang kompleks.
Kapan Harus Mencari Bantuan Profesional?
Jika seseorang mulai merasa sulit mengontrol kebiasaan berbincang dengan chatbot atau menghindari interaksi sosial karena terlalu nyaman dengan AI, maka inilah saatnya untuk mencari bantuan profesional. “Kalau sudah mengisolasi diri, mengalami tekanan emosional, atau terjebak dalam ilusi hubungan dengan bot, maka konsultasi dengan psikolog menjadi langkah yang tepat,” kata Ghina.
Psikolog dapat membantu mengidentifikasi akar masalah dan memberikan strategi yang lebih efektif untuk mengelola emosi serta membangun hubungan sosial yang sehat.
Bijak Menggunakan Teknologi
Tren berbincang dengan AI memang menawarkan kemudahan, namun seperti teknologi pada umumnya, memerlukan batasan yang jelas. Ghina mengajak masyarakat untuk melihat chatbot hanya sebagai alat bantu sementara dan bukan sebagai pengganti interaksi manusia yang sejati.
“Gunakan teknologi dengan bijak. Chatbot memang dapat membantu, tetapi dukungan emosional terbaik tetap datang dari manusia, terutama tenaga profesional yang berkompeten,” tutupnya.















