Infomalang – Kenaikan harga pangan kerap menjadi isu yang menyentuh hampir semua lapisan masyarakat. Salah satu yang belakangan ramai diperbincangkan adalah harga telur ayam di Malang yang tembus Rp28.000 per kilogram. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi daya beli konsumen, tetapi juga memberi tekanan besar kepada peternak. Biaya pakan yang semakin mahal menjadi penyebab utama, sehingga peternak dipaksa memutar otak untuk mencari alternatif solusi yang lebih berkelanjutan.
Sejarah dan Tren Kenaikan Telur Ayam di Malang
Telur ayam selama ini dikenal sebagai sumber protein hewani yang terjangkau dan mudah didapatkan. Di Kota Malang, permintaan selalu tinggi karena konsumsi masyarakat, kebutuhan hotel, restoran, hingga industri kuliner. Namun, sejak beberapa bulan terakhir, harga mengalami tren peningkatan yang signifikan.
Jika sebelumnya harga stabil di kisaran Rp22.000 hingga Rp24.000 per kilogram, kini melonjak hingga Rp28.000. Lonjakan tersebut tidak hanya karena faktor distribusi, melainkan juga akibat naiknya harga pakan, terutama jagung dan kedelai impor yang menjadi bahan utama.
Kenaikan harga ini menjadi tantangan tersendiri. Bagi konsumen, biaya kebutuhan rumah tangga bertambah. Sedangkan bagi pedagang kecil dan pelaku kuliner, margin keuntungan semakin menipis.
Dampak Lonjakan Harga Telur Ayam bagi Konsumen
Konsumen adalah pihak pertama yang merasakan langsung kenaikan harga. Masyarakat menengah ke bawah, yang mengandalkan telur ayam sebagai sumber protein murah, harus berhemat atau mencari alternatif lain.
Di pasar tradisional Malang, beberapa pedagang mengaku pembelian telur ayam berkurang. Banyak pembeli yang biasanya membeli satu kilogram, kini hanya membeli setengah. Fenomena ini tentu berdampak pada daya jual pedagang dan perputaran ekonomi lokal.
Selain itu, harga makanan olahan seperti nasi pecel, lalapan, hingga martabak juga berpotensi naik. Bagi pelaku UMKM kuliner, kondisi ini menjadi dilema karena menaikkan harga bisa mengurangi pelanggan, sementara mempertahankan harga berarti mengorbankan keuntungan.
Beban Peternak dalam Menghadapi Harga Pakan
Bagi peternak, masalah terbesar bukan hanya harga jual yang naik, melainkan biaya produksi yang melonjak lebih tinggi. Pakan ayam, yang mencapai 70% dari total biaya produksi, kini jauh lebih mahal. Jagung sebagai bahan utama mengalami fluktuasi harga, sementara kedelai yang diimpor terpengaruh nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Kondisi ini menempatkan peternak pada situasi sulit. Jika mereka menjual telur ayam dengan harga tinggi, risiko kehilangan pembeli besar. Namun, jika tetap menjual murah, kerugian tidak bisa dihindari. Dilema inilah yang membuat banyak peternak berupaya mencari alternatif pakan.
Baca juga: Kota Batu Catat Kenaikan Harga Cabai Besar dan Keriting
Upaya Peternak Cari Alternatif Pakan
Seiring krisis pakan, muncul berbagai inovasi untuk menekan biaya produksi. Beberapa alternatif yang mulai dilirik peternak Malang antara lain:
- Fermentasi Limbah Pertanian
Jerami, dedak, atau limbah sayuran difermentasi untuk meningkatkan kandungan gizi. Cara ini relatif murah dan bahan bakunya melimpah di Malang. - Penggunaan Azolla
Tanaman air bernama azolla dikenal kaya protein dan bisa menjadi campuran pakan ayam. Peternak dapat membudidayakan azolla sendiri dengan biaya rendah. - Maggot Black Soldier Fly (BSF)
Maggot dari lalat tentara hitam memiliki kandungan protein tinggi dan mulai populer sebagai alternatif pakan. Selain ramah lingkungan, maggot bisa membantu mengurangi sampah organik. - Kombinasi Herbal Lokal
Beberapa peternak juga mencoba menambahkan bahan herbal seperti kunyit dan jahe untuk meningkatkan daya tahan tubuh ayam, sehingga kebutuhan pakan tidak terlalu boros.
Peran Pemerintah dalam Mengendalikan Harga Telur Ayam
Lonjakan harga telur ayam di Malang juga membuka diskusi tentang peran pemerintah. Regulasi terkait distribusi pakan, subsidi, serta kebijakan impor bahan baku sangat berpengaruh. Tanpa intervensi, peternak akan kesulitan menghadapi persaingan global dan fluktuasi harga.
Pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi di Malang, seperti Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang, untuk melakukan riset pakan alternatif. Kolaborasi akademisi, pemerintah, dan peternak diyakini dapat menghasilkan solusi yang efektif.
Selain itu, pengawasan distribusi agar tidak terjadi penimbunan pakan juga penting. Jika distribusi lancar dan harga terkendali, dampaknya akan langsung terasa pada harga telur ayam di pasaran.
Prospek Ke Depan bagi Pasar Telur Ayam di Malang
Meski situasi saat ini cukup berat, ada peluang untuk memperbaiki kondisi. Jika peternak mampu menemukan formulasi pakan alternatif yang efisien, maka biaya produksi bisa ditekan. Hal ini akan menjaga harga telur ayam agar tetap stabil dan terjangkau masyarakat.
Di sisi lain, kesadaran konsumen juga penting. Dukungan terhadap produk lokal dan pembelian dari peternak langsung bisa menjadi salah satu solusi jangka pendek.
Dengan adanya sinergi antara peternak, konsumen, pemerintah, dan akademisi, lonjakan harga telur ayam di Malang bisa menjadi momentum untuk membangun sistem peternakan yang lebih mandiri dan berkelanjutan.
Kenaikan harga telur ayam di Malang hingga Rp28 ribu per kilogram menjadi tantangan besar bagi semua pihak. Konsumen terbebani, pedagang kehilangan pembeli, dan peternak terhimpit biaya produksi. Namun, di balik krisis ini, muncul peluang untuk berinovasi dalam pakan alternatif yang lebih murah dan ramah lingkungan.
Dengan dukungan pemerintah serta kolaborasi berbagai pihak, Malang berpotensi menjadi contoh daerah yang mampu mengatasi masalah pangan secara kreatif. Lonjakan harga telur ayam bukan hanya sekadar masalah ekonomi, tetapi juga momentum untuk memperkuat ketahanan pangan lokal.
Baca juga: Pemkot Malang Hadirkan Layanan Air Galon Isi Ulang Rp 5.000 di 83 Lokasi















