Breaking

Kunjungan Fanny Ghassani ke UMM Bahas Film Bertema Riba dalam Forum Diskusi Mahasiswa

Kunjungan Fanny Ghassani ke UMM Bahas Film Bertema Riba dalam Forum Diskusi Mahasiswa
Kunjungan Fanny Ghassani ke UMM Bahas Film Bertema Riba dalam Forum Diskusi Mahasiswa

infomalang – Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menjadi tuan rumah diskusi yang hangat dan edukatif menyusul kunjungan Fanny Ghassani dan tim produksi film horor terbarunya, “RIBA”.

Kehadiran mereka di tengah mahasiswa memicu antusiasme besar, mengingat film ini mengangkat isu tabu namun relevan seperti tekanan psikologis, moralitas, dan dampak ekonomi dari jeratan utang (riba).

Diskusi yang digelar berhasil memadukan wawasan industri kreatif dengan kajian sosial-psikologis.

Acara diskusi yang berlangsung pada Jumat sore tersebut mengusung tema penting: “Psikologi dalam Film dan Strategi Menciptakan Film Komersial”.

Kehadiran Fanny Ghassani dan para sineas menjadi bukti bahwa kampus berperan sebagai ruang dialog penting untuk membedah film tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai medium kritik sosial yang kuat.

Antusiasme Mahasiswa dan Relevansi Film RIBA

Ratusan mahasiswa dari berbagai fakultas memadati forum diskusi, tertarik untuk mendengarkan langsung proses kreatif dan pesan moral di balik film RIBA.

Film ini sendiri telah menjadi perbincangan hangat di media sosial karena diadaptasi dari utas (thread) viral berjudul “Getih Anak”.

Tim produksi berhasil mengemas cerita horor supranatural dengan latar belakang tekanan ekonomi yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat modern.

Kedekatan tema ini, terutama terkait beban mental dan moralitas dalam menghadapi kesulitan finansial, menjadi daya tarik utama bagi mahasiswa.

Kunjungan Fanny Ghassani dan Pendalaman Karakter yang Kompleks

Fanny Ghassani, yang dalam film RIBA memerankan karakter Rohma, membagikan pengalamannya mendalami tokoh yang berada dalam kondisi psikologis berat.

Karakter Rohma digambarkan berada di persimpangan moralitas akibat tekanan finansial yang memicu depresi.

Dalam sesi sharing tersebut, Fanny menegaskan bahwa meskipun genre film ini horor, pesan moralnya sangat kuat dan universal.

Ia menyoroti fenomena sosial di mana manusia sering kali membuat keputusan tergesa-gesa saat menghadapi masalah finansial, yang pada akhirnya dapat menimbulkan konsekuensi psikologis dan fisik yang berbahaya bagi diri sendiri dan keluarga.

Fanny juga menekankan pentingnya komunikasi terbuka dalam hubungan keluarga, khususnya suami-istri, sebagai benteng pertahanan mental menghadapi tekanan hidup.

Baca Juga: Campus Jobfair Malang 2025 Siap Hadir, Ajak Perusahaan Temukan Talenta Unggulan

Proses Kreatif dan Pesan Sosial di Balik Teror

Tidak hanya Fanny, sesi diskusi juga diramaikan oleh aktor utama Ibrahim Risyad, serta sederet kru kunci seperti Kevin Danu, Emilat Morsehdi, Pritt Timothy, Produser Titin Suryani, dan Eksekutif Produser Bedy Kunady.

Produser Titin Suryani menjelaskan bahwa proses kreatif film ini melibatkan riset psikologis yang matang. Tujuannya adalah memastikan film tidak hanya menyuguhkan teror yang dangkal, tetapi juga menampilkan sisi gelap manusia yang terperangkap dalam jeratan utang dan rasa bersalah.

Rasa takut yang dihadirkan bukan hanya dari entitas supranatural, tetapi juga dari tekanan mental dan moral yang dialami karakter. Tim produksi menggambarkan bagaimana mereka berupaya menghadirkan keseimbangan yang tepat antara hiburan, teror komersial, dan makna filmis.

Relevansi Bagi Generasi Muda: Literasi Finansial dan Mental

Salah satu hasil diskusi yang paling penting adalah relevansi tema RIBA bagi generasi muda. Banyak mahasiswa mengapresiasi film ini karena secara tidak langsung memicu kesadaran akan literasi finansial dan kesehatan mental.

Tekanan hidup modern yang menuntut gaya hidup tertentu seringkali menjerumuskan individu pada jeratan utang, yang kemudian memicu masalah mental.

Mahasiswa memanfaatkan forum ini untuk bertanya langsung mengenai motivasi casting, interpretasi mendalam terhadap adegan, hingga strategi film untuk meraih perhatian publik di tengah banjirnya film horor. Para sineas menegaskan bahwa film horor tetap bisa menjadi medium yang sarat makna dan kritik sosial asalkan digarap dengan riset yang mendalam dan niat edukasi.

UMM sebagai Pusat Literasi Kreatif

Kunjungan Fanny Ghassani dan tim RIBA ke UMM kembali menegaskan peran kampus sebagai ruang dialog kreatif yang memperkaya wawasan mahasiswa di luar kurikulum formal.

Kegiatan semacam ini memberikan mahasiswa pengalaman langsung berinteraksi dengan profesional industri, memperluas wawasan mereka tentang storytelling, psikologi terapan, dan manajemen produksi film.

Melalui diskusi film RIBA, UMM membuktikan komitmennya dalam mendukung kegiatan literasi media, psikologi, dan perfilman Indonesia, menjadikannya ruang yang ideal untuk mengekspresikan kreativitas dan mengasah daya kritis sosial mahasiswa.

Diskusi yang memadukan edukasi dan hiburan ini menjadi momentum penting bagi mahasiswa untuk memandang film sebagai alat ekspresi kreativitas dan kritik sosial.

Baca Juga: UM Gelar Kuliah Tamu “Alumni Bergerak, Indonesia Melangkah: Dari Kampus ke Aksi Nyata”