Kisah unik datang dari Masagung atau Tjio Wie Tay, konglomerat Indonesia keturunan Tionghoa pemilik Toko Buku Gunung Agung. Kehidupan bergelimang harta dan kedudukan terhormat justru membuatnya takut dan akhirnya memutuskan menjadi mualaf.
Pada tahun 1970-an, saat usianya menginjak 50 tahun, Masagung mengalami krisis kesadaran. Puncak kesuksesan Gunung Agung, yang kala itu tak hanya berbisnis buku tetapi juga pariwisata, perhotelan, dan penukaran uang, membawanya pada kekayaan melimpah. infomalang.com/ mencatat, pajak yang dibayarkan grup perusahaannya mencapai Rp 200 juta, bea cukai Rp 2 miliar, belum termasuk pajak pendapatan dari lebih dari 2.000 karyawannya.
Baca Juga: Rahasia di Balik Megahnya Mall Jakarta: Siapa Saja Miliarder di Baliknya?

Namun, kekayaan berlimpah ini justru membuatnya gelisah. Seperti yang dikutip dari buku “Nusa Jawa Silang Budaya” (2009) karya Denys Lombard, Masagung merasa tidak nyaman dengan kekayaannya dan takut terjerumus dalam maksiat. Di tengah kegelisahannya, ia bertemu Ibu Tien Fuad Muntaco, yang disebut Lombard sebagai pakar hipnotisme dan telepati.
Pertemuan tersebut mengubah hidupnya. Menurut buku “Southeast Asian Personalities of Chinese Descent” (2012) karya Leo Suryadinata, setelah memeluk agama Islam (sebelumnya beragama Hindu), Masagung berubah menjadi lebih Islami dan aktif menyebarkan ajaran Islam. Ia mendirikan Yayasan Jalan Terang untuk pembangunan masjid, rumah sakit, dan museum Wali Songo, serta aktif berdakwah dan menerbitkan buku-buku Islami.
Denys Lombard memuji perubahan Masagung, menyebutnya sebagai langkah maju setelah masa muda yang penuh keresahan. Masagung terus bergiat dalam menyebarkan ajaran Islam hingga akhir hayatnya pada 24 September 1990. Kisahnya menjadi bukti bahwa kekayaan tak selamanya menjamin kebahagiaan, dan pencarian spiritual dapat mengubah hidup seseorang secara drastis.















