Berbeda dengan kebanyakan anak pejabat yang memanfaatkan nama besar orang tua, Soesalit, putra tunggal pahlawan emansipasi perempuan R.A. Kartini, justru memilih jalan hidup yang sederhana dan jauh dari privilese. Kisah hidupnya yang tak banyak diketahui publik ini mengungkap sisi lain dari sebuah keluarga terhormat.
Lahir dari keluarga pejabat
Aayahnya, Raden Mas Adipati Ario Djojadiningrat, menjabat sebagai Bupati Rembang. Soesalit memiliki kesempatan emas untuk meraih kesuksesan dengan memanfaatkan nama besar ibunya. Namun, ia dengan tegas menolaknya. Meskipun berhak menggantikan ayahnya sebagai bupati, ia memilih jalur berbeda.
Pada tahun 1943, Soesalit bergabung dengan tentara Jepang, kemudian menjadi bagian dari PETA (Pembela Tanah Air). Setelah kemerdekaan, ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat Republik Indonesia dan karier militernya terus menanjak.
Baca juga: Ulama Kharismatik KH. M. Baidowi Muslich Berpulang, Kota Malang Berduka
Menurut Sitisoemandari Soeroto dalam “Kartini: Sebuah Biografi” (1979), Soesalit aktif dalam berbagai pertempuran melawan Belanda, yang membawanya pada posisi penting. Puncak kariernya tercapai pada 1946, ketika ia diangkat menjadi Panglima Divisi II Diponegoro, memimpin pasukan yang bertugas menjaga Yogyakarta. Ia juga pernah menjabat sebagai penasehat Menteri Pertahanan.
Ironisnya, sedikit orang yang mengetahui hubungan Soesalit dengan R.A. Kartini. Ia sengaja merahasiakan identitasnya sebagai putra Kartini, meskipun nama ibunya begitu populer dan menginspirasi banyak generasi. Bahkan lagu “Ibu Kita Kartini” karya W.R. Soepratman sudah populer kala itu.
Jenderal Nasution, atasan Soesalit, menjadi saksi bisu atas pilihan hidup Soesalit. Setelah pensiun, Soesalit memilih hidup sederhana sebagai veteran, menolak hak-hak yang seharusnya ia terima.
Nasution mencatat dalam “Kartini: Sebuah Biografi” (1979) bahwa Soesalit bisa saja hidup lebih makmur dengan mengungkap identitasnya, namun ia tetap teguh pada prinsipnya. Akibatnya, Soesalit hidup dalam kemiskinan hingga akhir hayatnya pada 17 Maret 1962. Kisah hidupnya menjadi bukti nyata bahwa kehormatan dan kekayaan bukanlah segalanya.
Baca juga: Aset Negara Tembus US$ 1 Triliun? Rahasia Kekayaan Indonesia Terungkap!















