Kenaikan rasio pembiayaan bermasalah (NPF) di industri multifinance menjadi sinyal bahaya ekonomi. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan NPF Multifinance merangkak naik hingga 2,87% menjelang Ramadan, meningkat dari 2,55% pada Februari 2024. Lonjakan ini bahkan lebih tinggi dibandingkan NPF gross multifinance di Desember 2023 (2,44%) dan Desember 2024 (2,7%).
Jodjana Jody, pengamat multifinance, menjelaskan peningkatan penyaluran kredit di awal kuartal I-2024 didorong tren musiman jelang Lebaran. Namun, ia memprediksi daya beli akan melemah pasca-Lebaran, diperparah tantangan ekonomi global, termasuk potensi gangguan ekspor. Jody memproyeksikan konsumen akan semakin menahan konsumsi, dan yang lebih mengkhawatirkan, risiko kredit bermasalah tak hanya terbatas pada kelas menengah, tapi juga berpotensi merambat ke kelas atas. “Yang sebelumnya karena daya beli lemah dan berdampak pada kelas bawah dan menengah, kini berpotensi meluas ke kelas atas,” tegas Jody.
Baca Juga: Rahasia di Balik Investasi Astra di Rumah Sakit Hermina!

Hal senada disampaikan Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios). Ia mengamati penurunan indeks keyakinan konsumen dan tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai faktor utama naiknya kredit bermasalah. “NPF Februari 2024 lebih rendah dibanding Februari 2025, kemungkinan besar karena PHK yang membuat kemampuan bayar masyarakat menurun,” jelasnya.
Ironisnya, pertumbuhan pembiayaan multifinance per Februari 2025 tetap tinggi, mencapai 5,92% (yoy) menjadi Rp 507,2 triliun, menurut Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan OJK, Agusman. Namun, di balik angka pertumbuhan yang positif ini, tersimpan potensi krisis yang bisa mengancam stabilitas keuangan, bahkan bagi mereka yang selama ini dianggap mampu membayar cicilan. Pertumbuhan ini justru menjadi indikator kuat betapa rapuhnya kondisi ekonomi saat ini.
Baca Juga: Ancol Rugi Miliaran Rupiah! Rahasia di Balik Kerugian PJAA Terungkap!















