Kebijakan pemerintah Indonesia yang mewajibkan 100% devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam masuk ke sistem keuangan domestik selama setahun ternyata juga diterapkan di sejumlah negara lain. Hal ini diungkapkan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Menurut Airlangga, Malaysia dan Thailand bahkan menerapkan kebijakan yang lebih ketat dengan mewajibkan seluruh DHE masuk dalam bentuk mata uang lokal masing-masing. Berbeda dengan Indonesia, yang memberikan kelonggaran untuk kebutuhan operasional dan kewajiban eksportir yang masih membutuhkan valuta asing (valas).
“Kalau di negara lain, seperti Malaysia, 100% menggunakan Ringgit Malaysia, dan Thailand dengan Baht,” jelas Airlangga dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (17/2/2025). Vietnam juga turut menerapkan kebijakan serupa.
Baca Juga : Bos Multivision Borong Jutaan Saham! Ada Apa?

Kebijakan ini, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2025, bertujuan mencegah praktik transfer pricing antar perusahaan eksportir Indonesia dengan perusahaan asing. Praktik ini, menurut Airlangga, dapat menyebabkan ketidaksesuaian pencatatan nilai ekspor dengan kegiatan riilnya. “Tujuannya agar tidak ada kasus di mana Indonesia mencatat ekspor misalnya 50 dolar, sementara negara lain mencatat impor 70 dolar, sehingga ada selisih 20 dolar yang disembunyikan. Dengan kebijakan ini, hal itu akan dicegah,” tegasnya.
Baca juga : Rahasia di Balik TikTok yang Tetap Bertahan di AS!
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan kebijakan revisi PP 36/2023 tentang DHE di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/2/2025). Kebijakan baru ini berlaku efektif 1 Maret 2025.
Revisi ini memperketat aturan dengan mewajibkan penempatan 100% DHE SDA dalam sistem keuangan Indonesia selama 12 bulan di rekening khusus bank nasional. Sektor minyak dan gas bumi dikecualikan dan tetap mengacu pada PP 36/2023.
“Ketentuan ini berlaku untuk sektor pertambangan (kecuali minyak dan gas bumi), perkebunan, kehutanan, dan perikanan,” terang Prabowo. Ia memperkirakan kebijakan ini akan menambah devisa negara hingga US$ 80 miliar di tahun 2025, dan lebih dari US$ 100 miliar jika diterapkan selama 12 bulan penuh.















