Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah signifikan, bahkan sempat menyentuh level terburuk sepanjang sejarah, yakni Rp 16.575 per USD. Ketidakpastian tarif dan sinyal perlambatan ekonomi AS menjadi pemicu utama pelemahan ini. Namun, Bank Indonesia (BI) menegaskan kesiapannya untuk melakukan intervensi jika diperlukan.
Baca Juga : Rupiah Anjlok! BI Siap Tempur!
Direktur Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, R. Triwahyono, menjelaskan bahwa intervensi hanya akan dilakukan ketika terjadi ketidakseimbangan di pasar. “Sebagai otoritas, kita harus menstabilkan ketidakseimbangan tersebut,” tegas Triwahyono dalam Taklimat Media Bank Indonesia, Kamis (6/3/2025).

BI, lanjut Triwahyono, akan terus memantau pergerakan nilai tukar rupiah secara ketat. Intervensi, kata dia, akan dilakukan jika memang dibutuhkan, tanpa memastikan frekuensinya. “Kita tidak bisa memastikan apakah setiap hari atau tidak, BI akan terus memonitor dan melakukan intervensi jika diperlukan,” ujarnya.
Baca Juga : Pailit! Anak Usaha HK Metals Utama Kolaps
Kestabilan nilai tukar rupiah sangat krusial bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2025 berada di kisaran 4,7-5,5% year on year (yoy). Untuk menjaga stabilitas tersebut, BI mengoptimalkan instrumen moneter, termasuk Surat Berharga Bank Indonesia (SRBI), Surat Berharga Bank Indonesia Valas (SVBI), dan Surat Berharga Bank Indonesia Valas Rupiah (SUVBI). Hingga 17 Februari 2025, posisi instrumen tersebut tercatat sebesar Rp 892,90 triliun untuk SRBI, US$ 3,03 miliar untuk SVBI, dan US$ 587 juta untuk SUVBI.
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,09% di angka Rp 16.325 per USD pada Kamis (5/3/2025), mengakhiri tren penguatan tiga hari sebelumnya. Situasi ini tentu menjadi perhatian serius bagi BI dan pemerintah.
Baca Juga : Profil Hashim Djojohadikusumo, Pengusaha dan Filantropis Indonesia















