Bank Indonesia (BI) memastikan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah yang menembus level Rp 16.800 per dolar AS tidak akan memicu krisis utang maupun inflasi yang tak terkendali. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Deputi Gubernur BI, Juda Agung, di Menara Mandiri, Jakarta, pada Selasa (8/4/2025). Menurut Juda, risiko krisis utang masih tergolong kecil karena sektor industri dan korporasi di Indonesia sudah diwajibkan melakukan lindung nilai (hedging) terhadap eksposur mata uang asing. “Jadi tidak mengkhawatirkan, kita sudah punya kewajiban hedging dan sebagainya untuk korporasi,” ujarnya.
Kekhawatiran masyarakat terhadap inflasi pun turut ditepis oleh BI. Meskipun melaporkan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) mencatat inflasi bulanan (month to month/mtm) sebesar 1,65% dan inflasi tahunan (year on year/yoy) sebesar 1,03% pada Maret 2025, BI menilai angka ini masih dalam batas wajar. Target inflasi BI untuk tahun ini berada pada kisaran 2,5% ± 1%. Juda Agung menegaskan bahwa inflasi saat ini masih tergolong rendah dan terkendali. “Tidak mengkhawatirkan, ini masih rendah dan terkendali,” tambahnya.
Baca juga: Rupiah Tembus Rp 17.000, Luhut: Tenang, Masih Normal!

Pelemahan nilai tukar rupiah terjadi di tengah ketidakpastian global yang dipengaruhi oleh meningkatnya tensi geopolitik dan perang dagang antara negara-negara besar. Berdasarkan data dari Refinitiv, rupiah ditutup pada level Rp 16.860 per dolar AS pada Selasa (8/4/2025), mengalami pelemahan sebesar 1,84% dibandingkan penutupan pada 27 Maret 2025. Pada saat yang sama, indeks dolar (DXY) justru melemah 0,13% ke posisi 103,12, menunjukkan dinamika pasar uang global yang fluktuatif.
Bank Indonesia menyatakan komitmennya untuk terus memantau situasi dan siap mengambil kebijakan yang diperlukan guna menjaga stabilitas makroekonomi nasional. Langkah-langkah antisipatif dan responsif akan terus dikedepankan agar perekonomian tetap berada dalam jalur yang sehat. BI juga mengimbau masyarakat dan pelaku usaha untuk tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh gejolak jangka pendek, mengingat fundamental ekonomi Indonesia dinilai masih kuat dan resilient di tengah dinamika global.
Baca juga: Buyback Saham Tanpa RUPS Melonjak! 16 Emiten Sudah Ajukan















