infomalang.com/ melaporkan lonjakan penjualan emas batangan dan koin fisik di Singapura yang menghebohkan. Selama empat bulan pertama tahun ini, warga Singapura memborong 2,5 ton emas, meningkat 35% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ini merupakan peningkatan tahunan terbesar sejak 2010, sebuah angka yang cukup fantastis di tengah gejolak ekonomi global.
Meskipun harga emas menembus US$3.000 (sekitar Rp49,5 juta) pada Maret dan melesat hingga US$3.500 (sekitar Rp57,8 juta) beberapa bulan kemudian, tingginya harga tersebut tak menyurutkan minat masyarakat Singapura. Para analis menilai fenomena ini sebagai bentuk lindung nilai terhadap risiko ekonomi global yang semakin meningkat. Investor berbondong-bondong mencari aset safe haven, dan emas menjadi pilihan utama.

Gregor Gregersen, pendiri The Reserve – sebuah brankas penyimpanan emas dan perak di Changi – mengungkapkan bahwa beberapa kliennya dengan kekayaan bersih sangat tinggi bahkan membeli emas dalam jumlah fantastis, mencapai SG$60 juta hingga SG$70 juta. Mereka memilih emas fisik sebagai langkah antisipasi terhadap ketidakpastian ekonomi global. "Mereka ingin mewujudkan aset mereka dalam bentuk fisik, mengurangi risiko yang mereka hadapi," ujar Gregersen.
Shaokai Fan, kepala World Gold Council untuk Asia-Pasifik dan bank sentral, menambahkan bahwa emas terbukti tahan banting di tengah ketidakstabilan ekonomi. Likuiditas emas juga menjadi daya tarik tersendiri bagi investor. Kekhawatiran terhadap aset safe haven tradisional seperti dolar AS dan US Treasury turut mendorong pergeseran investasi ke emas. "Ketika aset safe haven tradisional diragukan, emas menjadi pilihan," tegas Fan.
Namun, tren ini tidak merata. Permintaan perhiasan emas justru turun 20% pada kuartal pertama, disebabkan oleh harga yang tinggi dan biaya tambahan seperti pajak. Para pedagang emas menjelaskan bahwa perhiasan emas lebih mahal karena biaya produksi dan pajak yang dikenakan.
Meskipun demikian, dengan meningkatnya volatilitas global, permintaan emas diperkirakan akan tetap tinggi dalam jangka menengah hingga panjang. Fenomena ini tentu menarik perhatian dunia, dan menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini pertanda ekonomi global yang semakin sulit?















