Breaking

Fatwa Haram Sound Horeg dari Ponpes Besuk Didukung MUI Jatim, Ini Alasannya

Fenomena penggunaan sound system dengan volume tinggi atau yang populer disebut “sound horeg” kini menuai kontroversi serius di Jawa Timur. Pondok Pesantren (Ponpes) Besuk, Kecamatan Kejayan, Kabupaten Pasuruan, memutuskan mengeluarkan fatwa haram terhadap praktik ini. Keputusan tersebut lahir dalam Bahtsul Masail Forum Satu Muharram (FSM) yang digelar pada 26–27 Juni 2025 lalu.

Fatwa haram ini tidak hanya mempertimbangkan suara bising yang ditimbulkan sound horeg, tetapi juga efek sosial dan budaya yang menyertainya. Para ulama dalam forum tersebut menilai bahwa penggunaan sound horeg menimbulkan mudarat yang lebih besar dibanding manfaatnya, seperti gangguan kenyamanan, potensi maksiat, hingga benturan nilai dengan masyarakat sekitar.

Meski belum ada regulasi atau peraturan pemerintah yang secara eksplisit melarang penggunaan sound horeg, fatwa dari Ponpes Besuk tetap berdiri sebagai panduan moral dan sosial bagi umat. Pengasuh Ponpes, KH Muhibbul Aman Aly, menekankan bahwa larangan ini mencerminkan kepedulian pesantren terhadap tata nilai dan keharmonisan masyarakat.

“Fatwa ini kami rumuskan tidak hanya mempertimbangkan aspek kebisingan suara, tapi juga mulazim atau dampak sosial-budaya yang melekat pada praktik sound horeg,” tegas KH Muhib, dikutip dari akun Instagram @ajir_ubaidillah pada Senin (30/6/2025).

Keputusan ini pun mendapat sambutan positif dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur. Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Ma’ruf Khozin, menyatakan dukungan terhadap fatwa haram tersebut. Ia menyebut bahwa KH Muhibbul Aman Aly merupakan ulama yang memiliki kapasitas keilmuan tinggi dan termasuk jajaran Syuriah PBNU.

“Kiai Muhib adalah mushahih (penentu sahnya keputusan fikih) dalam forum tersebut. Secara keilmuan beliau sudah diakui luas. Maka metode dan hasil bahtsul masail yang memutuskan haramnya sound horeg bisa kami pahami dan dukung,” jelas Ma’ruf, Rabu (2/7/2025).

Baca Juga: Kerja Sama Pendidikan: Tidore dan ITSK Malang Sepakat Kembangkan SDM Kesehatan

MUI Jatim sendiri sebelumnya sudah memiliki keputusan serupa terkait larangan penggunaan sound horeg dalam kegiatan takbiran keliling. Dalam pandangan MUI, penggunaan sound system berlebihan yang justru menimbulkan kegaduhan, apalagi memutar musik elektronik bukan takbir, sangat tidak dibenarkan secara syariat.

“Kalau takbiran dengan sound horeg saja sudah kami larang, apalagi ini yang tidak ada unsur ibadahnya, hanya musik keras-keras, dentuman, lewat depan rumah orang sakit atau pesantren. Itu sangat mengganggu,” imbuh Ma’ruf.

Sound horeg biasanya digunakan dalam pawai, pesta rakyat, atau acara komunitas dengan volume sangat tinggi, yang kerap memicu getaran hingga kaca rumah bergetar. Selain gangguan fisik, penggunaan sound horeg juga dinilai membuka ruang bagi praktik-praktik yang tidak sesuai nilai-nilai keislaman, seperti campur baur laki-laki dan perempuan, joget massal, hingga minuman keras.

Menurut KH Muhibbul Aman, sound horeg telah menjadi simbol syiar orang-orang fasiq (fussaq), yakni mereka yang cenderung melanggar norma agama. Maka, walaupun tidak sedang menimbulkan gangguan secara langsung, penggunaan sound horeg tetap dilarang karena membawa implikasi maksiat.

“Dimanapun tempatnya digunakan, mengganggu atau tidak, kalau itu disebut sound horeg, maka hukumnya haram,” tandas KH Muhib.

MUI Jatim tidak menutup kemungkinan untuk mengeluarkan fatwa resmi terkait sound horeg jika fenomena ini semakin meresahkan masyarakat. KH Ma’ruf Khozin menyatakan bahwa selama ini pihaknya menerima banyak keluhan dari warga yang merasa terganggu, baik secara fisik maupun psikis, oleh aktivitas sound horeg.

“Kalau memang nanti banyak yang meminta dan dampaknya makin nyata, MUI Jatim bisa memperkuat dengan fatwa resmi. Tapi untuk sekarang, kami sudah dukung fatwa dari Ponpes Besuk,” ujar Ma’ruf.

Sementara itu, masyarakat juga mulai terbagi menyikapi fenomena ini. Ada yang merasa terhibur dengan sound horeg karena dianggap sebagai sarana ekspresi komunitas, namun banyak pula yang terganggu dan berharap adanya penertiban.

Dengan adanya fatwa ini, diharapkan masyarakat bisa lebih bijak dalam menggunakan perangkat audio berdaya besar. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum pun diimbau turut memberikan edukasi dan pengawasan agar ketertiban umum tetap terjaga.

Baca Juga: Sygma Bertemu Rektor UB Prof. Widodo: Bahas Tantangan Riset, AI, dan SMSI Goes to Campus