Breaking

Miris! Diduga Dianiaya Ustaz, Kaki Santri di Malang Membusuk

infomalang.com/  Malang, 10 Juli 2025 — Sebuah kasus dugaan kekerasan terhadap santri kembali mengguncang dunia pendidikan agama di Indonesia. Seorang ustaz sekaligus pemilik pondok pesantren (ponpes) di Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Jawa Timur, diduga melakukan penganiayaan fisik terhadap seorang santri hingga menyebabkan luka membusuk di bagian kaki korban.

Peristiwa ini mencuat ke publik setelah video rekaman kejadian tersebut tersebar luas di media sosial. Dalam video yang diunggah akun Instagram @radarpena.co.id, terlihat jelas sosok seorang ustaz tengah mencambuk kaki seorang santri dengan rotan. Aksi itu dilakukan berulang kali, dan terdengar ustaz itu berkata, “Kapok ndak?” sambil terus memukulkan rotan ke kaki korban.

Santri yang menjadi korban tampak menahan rasa sakit, namun tetap menerima hukuman fisik tersebut. Dalam unggahan video lanjutan, tampak luka-luka pada kedua kaki korban. Beberapa luka tampak sudah mengering, sementara sebagian lain terlihat masih basah dan membusuk. Kondisi ini memunculkan keprihatinan masyarakat dan memicu kecaman luas terhadap bentuk kekerasan fisik di lingkungan pesantren.

Kejadian ini menyoroti kembali pentingnya pengawasan terhadap metode disiplin di lembaga pendidikan, khususnya pondok pesantren. Meskipun pesantren dikenal sebagai tempat membentuk karakter dan kedisiplinan, praktik hukuman fisik yang berujung pada cedera berat sangat tidak dibenarkan dalam sistem pendidikan modern dan bertentangan dengan hak asasi manusia.

Pihak kepolisian setempat telah menerima laporan terkait peristiwa ini dan tengah melakukan penyelidikan lebih lanjut. Kepala Polres Malang, AKBP Yudo Nugroho Sugianto, menyatakan bahwa pihaknya sedang mengumpulkan bukti-bukti serta melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi, termasuk pihak pondok pesantren dan keluarga korban.

Baca Juga:Korupsi di Balik Inovasi, 2 Mantan Petinggi BRI Terlibat Kasus EDC

“Kami tidak akan mentoleransi segala bentuk kekerasan, terlebih yang terjadi di lembaga pendidikan,” ujar Yudo. Ia menambahkan, hasil visum terhadap korban menjadi salah satu kunci dalam penyelidikan kasus ini. Jika terbukti ada unsur pidana, pelaku akan dijerat sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan pasal-pasal tentang penganiayaan dalam KUHP.

Menurut informasi sementara, korban merupakan santri yang masih di bawah umur. Ia telah menjalani perawatan medis karena luka yang dialaminya cukup parah, bahkan berpotensi menimbulkan komplikasi jika tidak ditangani secara serius. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak jangka panjang baik secara fisik maupun psikologis terhadap korban.

Pakar pendidikan Islam dari Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Dr. Abdul Rozak, mengecam keras tindakan tersebut. Menurutnya, pendidikan di pesantren seharusnya mengedepankan pendekatan kasih sayang, bukan kekerasan. “Metode tarbiyah yang islami tidak mengenal kekerasan fisik. Kalau ada kekerasan, itu justru mencoreng nilai-nilai Islam,” ujarnya.

Kementerian Agama pun telah menanggapi kasus ini dengan serius. Dirjen Pendidikan Islam, Prof. H. Muhammad Ali Ramdhani, menyatakan bahwa pihaknya akan mengirim tim investigasi ke lokasi kejadian untuk melakukan verifikasi dan memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan adil dan transparan.

“Kami tidak akan membiarkan ada praktik-praktik kekerasan di lembaga pendidikan di bawah binaan kami,” tegasnya. Ia juga menyebut bahwa kasus ini menjadi momentum untuk mengevaluasi regulasi serta mekanisme pengawasan pesantren agar kejadian serupa tidak terulang.

Kasus ini menambah daftar panjang dugaan kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan berbasis agama. Meski sebagian masyarakat masih menganggap wajar hukuman fisik sebagai bentuk disiplin, realitanya, praktik tersebut bisa berdampak serius terhadap perkembangan mental dan fisik anak. Pemerhati anak dan aktivis perlindungan anak menyatakan bahwa kekerasan tidak pernah bisa dibenarkan dalam bentuk apapun.

Masyarakat kini menanti langkah tegas dari aparat penegak hukum dan lembaga terkait. Kepercayaan terhadap institusi pendidikan, termasuk pondok pesantren, perlu dipulihkan melalui penegakan hukum yang adil serta pembenahan sistem internal yang mencegah terjadinya kekerasan.

Sebagai negara dengan jumlah pondok pesantren terbesar di dunia, Indonesia dituntut untuk tidak hanya menjaga kuantitas lembaga pendidikan Islam, tetapi juga memastikan bahwa kualitas pengasuhan, perlindungan, dan pembinaan terhadap santri benar-benar sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ajaran agama itu sendiri.

Baca Juga:Miris, Anak perempuan Disabilitas di Malang Jadi Korban Kekerasan Seksual Ayah Tiri