Breaking

Cuaca Ekstrem, Nelayan Ngliyep Gelar Ritual Larung Sesaji

MALANG – Di tengah kondisi cuaca yang tak menentu akibat fenomena kemarau basah, para nelayan dari Pantai Ngliyep, Kabupaten Malang, tetap menjaga tradisi leluhur dengan menggelar ritual larung sesaji. Kegiatan ini menjadi bentuk doa dan syukur mereka kepada Sang Pencipta, sekaligus permohonan perlindungan dari marabahaya selama mencari nafkah di laut.

Tradisi ini dilaksanakan oleh Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nelayan Bina Mandiri Ngliyep, Minggu (13/7/2025). Kegiatan tersebut diikuti oleh 38 orang nelayan aktif dari Desa Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Prosesi larung sesaji dilakukan di Pantai Pasir Panjang Ngliyep, yang terkenal sebagai lokasi sakral dan memiliki nilai spiritual tinggi di kalangan masyarakat pesisir selatan Malang.

Menurut Ugeng, perwakilan KUB Nelayan Bina Mandiri, kegiatan ini digelar secara sederhana namun penuh makna. “Meski cuaca tidak menentu, kami tetap mengadakan tradisi larung sesaji sebagai bentuk rasa syukur dan permohonan keselamatan saat melaut. Ini adalah warisan budaya yang kami junjung tinggi,” ujarnya.

Prosesi larung dimulai dengan doa bersama yang dipimpin oleh sesepuh nelayan setempat, Mbah Arifin. Dalam doa tersebut, para nelayan memohon keselamatan, hasil tangkapan yang cukup, dan kelancaran rezeki untuk seluruh keluarga. Doa dilakukan di tepi pantai dengan nuansa religius yang kental.

Setelah doa bersama, rangkaian sesaji yang telah disiapkan diarak menuju bibir pantai. Isi sesaji terdiri dari nasi tumpeng, buah-buahan, kembang mayang, ayam hidup, hasil pertanian, dan uang logam. Semua ini dilarung ke laut sebagai simbol persembahan kepada alam dan bentuk penghormatan terhadap kekuatan laut yang dianggap memiliki roh penjaga.

Baca Juga: Musim Hujan Tiba, Jalur Malang-Lumajang Intai Bahaya Longsor

Larung sesaji ini tidak hanya menjadi ajang spiritual, tetapi juga menarik perhatian masyarakat sekitar dan wisatawan. Banyak pengunjung yang datang untuk menyaksikan langsung prosesi dan turut berebut sesaji yang hanyut ke pantai. Mereka percaya bahwa siapa yang mendapat bagian dari sesaji akan memperoleh berkah dan keselamatan.

“Setiap tahun saya selalu datang ke acara ini. Tradisinya unik dan penuh nilai budaya. Apalagi sekarang cuacanya ekstrem, jadi momentumnya sangat pas untuk berdoa bersama,” ujar Rini, salah satu pengunjung dari Dampit.

Cuaca ekstrem memang tengah melanda wilayah pesisir selatan Jawa Timur. Menurut data dari BMKG Maritim Tanjung Perak, tinggi gelombang di perairan selatan Jawa Timur mencapai 2,5–3 meter, yang berisiko bagi aktivitas melaut. Dengan kondisi tersebut, nelayan membutuhkan kekuatan mental dan spiritual dalam menghadapi tantangan laut.

BMKG juga telah mengeluarkan peringatan dini terkait potensi angin kencang dan ombak tinggi di wilayah pantai selatan, termasuk Malang. Oleh karena itu, kegiatan larung sesaji ini tak hanya bermakna ritual, tetapi juga menjadi momentum untuk menguatkan solidaritas sesama nelayan dan mengingatkan pentingnya keselamatan saat melaut.

Ritual larung sesaji ini umumnya digelar setiap tahun pada bulan Suro, bertepatan dengan tahun baru Hijriah. Tradisi ini diyakini sebagai waktu yang sakral untuk memulai segala sesuatu dengan niat baik dan penuh harapan. Dalam konteks masyarakat pesisir, bulan ini menjadi momen penting untuk menata kembali semangat kerja dan menjaga keharmonisan dengan alam.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang menyatakan dukungan terhadap pelestarian tradisi lokal semacam ini. Menurut mereka, larung sesaji bukan hanya budaya warisan nenek moyang, tetapi juga daya tarik wisata spiritual yang bisa dikembangkan secara berkelanjutan.

“Kami mendorong agar tradisi seperti ini tetap hidup dan dilestarikan. Selain sebagai budaya lokal, acara ini juga mampu menarik wisatawan dan menggerakkan ekonomi masyarakat sekitar,” ujar salah satu perwakilan dari dinas terkait.

Dengan tetap menggelar larung sesaji di tengah cuaca tak menentu, para nelayan Ngliyep menunjukkan bahwa kearifan lokal dan keyakinan spiritual masih menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat pesisir. Tradisi ini menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakpastian alam dengan cara yang damai dan bermakna.

Baca Juga: Tragedi Ombak Watulepek: Tiga Remaja Malang Terseret, Satu Tewas, Satu Hilang, Satu Selamat