JAKARTA, 17 Juli 2025 – Bank Indonesia (BI) resmi menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 5,25% pada Rabu (16/7/2025). Keputusan ini diumumkan setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengonfirmasi pemangkasan tarif ekspor produk Indonesia dari 32% menjadi 19%. Pemangkasan tarif tersebut memberi angin segar bagi ekspor nasional dan menjadi peluang emas bagi BI untuk mengambil kebijakan moneter yang lebih akomodatif.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan penurunan suku bunga mempertimbangkan berbagai faktor, seperti inflasi yang tetap terkendali di bawah 3%, nilai tukar rupiah yang relatif stabil, serta perlunya mempercepat laju pertumbuhan ekonomi domestik yang masih menghadapi tekanan global. “Kita harus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan. Penurunan BI Rate ini adalah salah satu upaya konkret dalam rangka itu,” kata Perry dalam konferensi pers di Jakarta.
Kebijakan ini langsung memengaruhi berbagai sektor, mulai dari pasar keuangan hingga dunia usaha. Berikut ini adalah empat dampak besar dan mengejutkan dari penurunan suku bunga BI ini.
1. Pertumbuhan Kredit Diproyeksi Meningkat
Dengan penurunan suku bunga acuan, sektor perbankan memiliki ruang lebih besar untuk memangkas suku bunga kredit. BI menargetkan pertumbuhan kredit mencapai 8–11% pada semester kedua 2025, lebih tinggi dibanding capaian semester pertama sebesar 7,77%.
Kredit diprediksi tumbuh pesat pada sektor-sektor produktif seperti manufaktur, pertanian, properti, dan UMKM. Penurunan suku bunga akan memudahkan pelaku usaha mengakses pinjaman modal kerja dan investasi, yang pada akhirnya mendorong produktivitas dan penciptaan lapangan kerja baru.
2. IHSG Menguat, Investor Menyambut Positif
Langkah BI menurunkan suku bunga langsung disambut positif oleh investor. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,7% ke level 7.192, dipimpin saham-saham sektor teknologi, tambang, dan infrastruktur. Saham PT DCI Indonesia Tbk (DCII) bahkan mencatat lonjakan hampir 20%.
Menurut analis pasar dari Kontan.co.id, kebijakan ini menumbuhkan ekspektasi suku bunga rendah dalam jangka menengah, yang membuat saham menjadi instrumen investasi lebih menarik dibanding obligasi. “Investor asing juga kembali masuk ke pasar karena melihat sinyal positif dari arah kebijakan moneter dan kerja sama dagang bilateral,” ujar analis tersebut.
Baca Juga:Dolar AS Kian Menguat, Nilai Tukar Rupiah Sentuh Rp 16.315
3. Stabilitas Nilai Tukar Tetap Terjaga
Meskipun nilai tukar rupiah melemah tipis sebesar 0,11% ke level Rp 16.278 per dolar AS, pasar tetap stabil dan tidak terjadi kepanikan. Yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun tetap berada di level 6,573%, menandakan kepercayaan pasar tetap tinggi terhadap instrumen keuangan Indonesia.
BI menegaskan komitmennya menjaga stabilitas makro melalui strategi intervensi ganda (dual intervention) di pasar valas dan pasar surat berharga negara. Langkah ini penting untuk menjaga kepercayaan investor serta mencegah volatilitas yang berlebihan.
4. Efek Langsung Pemangkasan Tarif Ekspor oleh AS
Keputusan Amerika Serikat memangkas tarif ekspor terhadap produk Indonesia menjadi momentum penting bagi neraca perdagangan nasional. Produk unggulan seperti minyak kelapa sawit, karet, tekstil, dan alas kaki kini menjadi lebih kompetitif di pasar Amerika.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memperkirakan peningkatan ekspor hingga USD 5 miliar per tahun dari sektor-sektor tersebut. Lebih dari itu, Donald Trump juga menyatakan komitmen untuk pembelian produk pertanian, pesawat, dan energi dari Indonesia senilai USD 20 miliar dalam dua tahun ke depan. Jika terealisasi, ini akan menjadi rekor tertinggi dalam sejarah perdagangan bilateral Indonesia–AS sejak tahun 2005.
Penutup
Penurunan BI Rate ke level 5,25% merupakan bagian dari strategi besar BI dalam menjaga keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan. Di tengah tekanan global dan ketidakpastian geopolitik, Indonesia berupaya mengambil langkah-langkah berani untuk menjaga daya saing dan memperkuat struktur ekonomi nasional.
Kebijakan ini sejalan dengan arah fiskal ekspansif dari Kementerian Keuangan yang fokus pada percepatan belanja negara dan penguatan perlindungan sosial. Dengan sinergi antara kebijakan moneter dan fiskal, Indonesia dinilai berada di jalur yang tepat untuk meraih pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di paruh kedua tahun 2025.
Baca Juga:Langkah Mengejutkan BI: Suku Bunga Dipotong Setelah Trump Turunkan Tarif RI















