infomalang.com/, Washington, 17 Juli 2025 – Amerika Serikat tengah mempertimbangkan penerapan tarif baru terhadap impor panel surya dari Indonesia, India, dan Laos. Hal ini menyusul petisi yang diajukan oleh sekelompok produsen panel surya dalam negeri yang menuding produsen luar negeri menjual barang dengan harga dumping untuk melemahkan industri manufaktur domestik yang sedang berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Petisi tersebut diajukan pada Kamis (17/7) oleh Aliansi untuk Manufaktur dan Perdagangan Tenaga Surya Amerika, sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa perusahaan besar seperti First Solar, Qcells (anak perusahaan Hanwha Korea), serta perusahaan swasta seperti Talon PV dan Mission Solar. Mereka mendesak Departemen Perdagangan AS untuk segera melakukan investigasi dan mengenakan bea masuk anti-dumping dan countervailing.
Tuduhan Dumping dan Subsidi Tidak Adil
Dalam dokumen resmi petisi, para pemohon menuduh perusahaan-perusahaan di Indonesia, India, dan Laos telah menerima subsidi pemerintah secara tidak adil serta menjual panel surya di bawah biaya produksi ke pasar AS. Praktik ini disebut-sebut sebagai strategi untuk merusak harga dan merugikan produsen lokal yang sedang membangun kapasitas produksi nasional secara serius.
Kelompok ini juga menuding bahwa perusahaan-perusahaan China, yang sebelumnya terkena tarif impor, telah mengalihkan jalur produksinya ke negara-negara seperti Indonesia dan Laos untuk menghindari beban tarif. Tindakan tersebut disebut sebagai bentuk circumvention atau penghindaran tarif perdagangan yang merugikan produsen dalam negeri Amerika.
“Kami selalu menekankan bahwa penegakan hukum perdagangan yang tegas sangat penting untuk menjaga kelangsungan industri dalam negeri,” ujar Tim Brightbill, pengacara utama dari pihak pemohon dalam pernyataan tertulisnya.
Lonjakan Impor Panel Surya dari Asia
Menurut data yang disampaikan dalam petisi, impor panel surya dari ketiga negara tersebut meningkat tajam. Pada tahun 2022, nilai impornya hanya mencapai $289 juta, namun melonjak drastis menjadi $1,6 miliar pada tahun 2024. Kenaikan signifikan ini dianggap sebagai bukti kuat bahwa produsen dari Asia menggunakan celah perdagangan untuk memasuki pasar AS secara agresif dan masif.
Para pemohon juga menyatakan bahwa tren ini mengancam investasi miliaran dolar di sektor energi surya domestik, yang tengah didorong melalui Undang-Undang Pengurangan Inflasi 2022 (Inflation Reduction Act). UU tersebut memberikan insentif pajak bagi produsen lokal untuk mengurangi ketergantungan pada barang impor, khususnya dari Tiongkok.
Baca Juga:Ancaman Serius! Bahlil Khawatir Kampus Hanya Cetak Pengangguran
Situasi Industri Panel Surya di AS
Kapasitas produksi panel surya AS memang meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Asosiasi Industri Energi Surya (SEIA), kapasitas produksi dalam negeri telah naik dari 7 gigawatt pada 2020 menjadi 50 gigawatt pada 2025. Namun demikian, kapasitas itu masih belum mencukupi untuk memenuhi permintaan domestik, yang diperkirakan mencapai 43 GW per tahun hingga 2030.
Sebagian besar panel surya yang digunakan di AS saat ini masih berasal dari luar negeri, termasuk dari negara-negara Asia Tenggara. Oleh karena itu, keputusan mengenai tarif impor akan sangat berpengaruh terhadap rantai pasokan dan harga proyek tenaga surya di seluruh negeri.
Peluang Investigasi dan Implikasi Global
Departemen Perdagangan AS kini memiliki waktu 20 hari untuk memutuskan apakah akan memulai investigasi resmi terhadap tuduhan tersebut. Jika penyelidikan dilanjutkan, prosesnya dapat berlangsung selama satu tahun sebelum keputusan final mengenai tarif diberlakukan secara permanen.
Kasus anti-dumping seperti ini biasanya menimbulkan dampak luas, tidak hanya terhadap hubungan dagang bilateral, tetapi juga terhadap iklim investasi dan rantai distribusi global. Jika tarif diterapkan, Indonesia dan India—dua negara dengan ekspor panel surya yang terus tumbuh—bisa mengalami tekanan besar di sektor ekspornya.
Dampak Bagi Indonesia dan Negara Terkait
Bagi Indonesia, potensi pengenaan tarif ini dapat menjadi pukulan serius bagi sektor ekspor panel surya yang sedang berkembang. Pelaku industri nasional diimbau untuk memperhatikan perkembangan kasus ini dan mempersiapkan langkah antisipatif, baik dalam hal diversifikasi pasar, peningkatan efisiensi, maupun transparansi subsidi produksi yang lebih akuntabel.
Dengan meningkatnya perhatian dunia pada energi terbarukan, perdagangan global panel surya diperkirakan akan semakin kompetitif dan sensitif terhadap regulasi. Langkah Amerika ini menjadi cerminan bagaimana infrastruktur energi hijau global kini tak hanya soal teknologi dan keberlanjutan, tetapi juga strategi geopolitik dan ekonomi perdagangan internasional.
Baca Juga:XRP Tembus Rekor Tertinggi, Investor Baru Jadi Pendorong Utama















