infomalang.com/ MALANG – Sidang kasus dugaan eksploitasi anak di bawah umur yang menyeret enam pemilik warung kopi pangku di area Pasar Gondanglegi terus menjadi sorotan publik. Persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen ini kembali menghadirkan keenam terdakwa yang diduga mempekerjakan pramusaji di bawah umur. Namun, dalam sidang yang digelar kemarin, seluruh terdakwa membantah tuduhan mengeksploitasi para pegawai mereka.
Enam terdakwa tersebut adalah Sulistiwanto (38) dan Saiful (41), keduanya warga Desa Banjarejo, Kecamatan Pagelaran. Sementara empat terdakwa lainnya yakni Reni Sujiati (53) asal Desa Gondanglegi Wetan, Iswantini (54) dari Desa Sidorejo, Siti Hapsiyah (54) asal Desa Banjarejo, serta Lulu Yanti (20) dari Desa Klepu, Kecamatan Sumbermanjing Wetan. Mereka semua diketahui sebagai pemilik warung kopi pangku yang beroperasi di area Pasar Gondanglegi, Kabupaten Malang.
Menurut dakwaan jaksa, para terdakwa diduga mempekerjakan tujuh pramusaji perempuan yang masih berusia di bawah umur. Para korban bekerja di warung kopi tersebut selama rentang waktu 1 hingga 3 bulan. Jaksa menilai praktik ini melanggar ketentuan perlindungan anak, mengingat pramusaji tersebut bekerja di tempat yang menyediakan layanan “plus pangku,” yang dinilai memiliki risiko tinggi terhadap keselamatan dan moralitas anak di bawah umur.
Terdakwa Tegaskan Tidak Tahu Usia Pegawai
Dalam sidang kemarin, Luluk dan Saiful memberikan kesaksian untuk empat terdakwa lainnya sebelum pemeriksaan individu dilakukan. Mereka menegaskan tidak pernah bermaksud mengeksploitasi pegawai, apalagi jika benar mereka masih di bawah umur. “Saya tidak tahu mereka di bawah umur. Mereka datang sendiri melamar pekerjaan ke saya,” ujar Lulu di hadapan majelis hakim.
Hal senada disampaikan oleh Reni Sujiati. Menurutnya, ketika membuka lowongan pekerjaan, dirinya sudah mencantumkan syarat usia minimal 17 tahun. “Saya memasang pengumuman lowongan di media sosial dengan kriteria umur 17 sampai 45 tahun. Jadi saya kira mereka sudah cukup umur,” ucap Reni. Ia menambahkan bahwa para pelamar tidak memiliki KTP, sehingga ia menyarankan agar mereka menginformasikan kepada orang tua mengenai pekerjaan yang diambil.
Alasan Ekonomi Jadi Pemicu
Persidangan juga mengungkap alasan mengapa para korban bekerja di warung kopi pangku tersebut. Sebagian besar mengaku melakukannya demi membantu perekonomian keluarga. Salah satu terdakwa, Siti Hapsiyah, bahkan memberikan keterangan yang cukup mengejutkan. Ia mengaku memiliki pegawai berinisial PAN yang ternyata sudah memiliki anak hasil pernikahan siri.
“Dia mengaku sudah punya anak umur 3 bulan. Katanya mau bekerja untuk beli susu anak karena suaminya sudah pulang ke Gresik,” ungkap Siti di persidangan.
Baca:Bocah Perempuan 4 Tahun di Wagir Malang Menjadi Kekerasan Seksual, Saksi Diperiksa Hari Ini
Keterangan ini membuat kasus semakin kompleks. Majelis hakim menilai perlu pendalaman terkait status dan latar belakang para korban untuk memastikan apakah mereka benar-benar masih di bawah umur atau sudah memiliki status yang berbeda secara hukum.
Sorotan Publik dan Perlindungan Anak
Kasus ini mendapat perhatian serius dari masyarakat, terutama terkait perlindungan anak. Praktik mempekerjakan anak di bawah umur, apalagi di tempat yang menyediakan layanan “plus pangku,” tentu memunculkan keprihatinan. Pengamat hukum menilai, apapun alasan ekonomi yang melatarbelakangi, hukum tetap melindungi anak dari potensi eksploitasi.
Namun di sisi lain, pembelaan para terdakwa yang mengaku tidak mengetahui usia pegawai juga patut dipertimbangkan. Banyak pekerja yang melamar tanpa membawa identitas resmi, sehingga pemilik usaha kesulitan memverifikasi usia sebenarnya. Kondisi inilah yang kerap dimanfaatkan sebagian pihak untuk mendapatkan pekerjaan meski belum memenuhi persyaratan usia.
Majelis Hakim Minta Keterangan Tambahan
Majelis hakim yang dipimpin dalam persidangan kemarin meminta jaksa menghadirkan keterangan tambahan terkait dokumen identitas korban. Langkah ini diambil untuk memastikan keabsahan tuduhan yang diajukan. “Kita akan meminta bukti lebih jelas mengenai usia korban dan bagaimana proses perekrutan mereka,” ujar hakim ketua.
Sidang lanjutan rencananya akan menghadirkan saksi ahli dari Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Malang. Keterangan ahli ini diharapkan dapat memberikan pandangan objektif mengenai praktik perekrutan tenaga kerja di warung kopi, serta risiko eksploitasi yang mungkin terjadi.
Menunggu Putusan Akhir
Kasus ini masih jauh dari kata selesai. Pihak keluarga korban berharap keadilan ditegakkan, sementara para terdakwa menunggu pembuktian lebih lanjut. Publik pun berharap persidangan ini menghasilkan putusan yang adil, baik bagi korban maupun bagi pihak terdakwa jika memang terbukti tidak bersalah.
Hingga putusan akhir dibacakan, kasus ini akan terus menjadi bahan pembicaraan hangat di Malang. Satu hal yang pasti, kasus ini kembali mengingatkan pentingnya perlindungan terhadap pekerja, khususnya anak-anak, serta perlunya edukasi bagi pemilik usaha agar lebih berhati-hati dalam merekrut karyawan.
Baca Juga:Diplomasi Indonesia-Australia: Harmoni Kepentingan atau Retorika Politik 2025















