Breaking

Kasus Royalti Musik Mie Gacoan Picu Kekhawatiran Pelaku Usaha Kuliner, PHRI Desak Sosialisasi Regulasi

Kasus tuntutan pidana terhadap jaringan restoran Mie Gacoan karena memutar lagu-lagu berhak cipta tanpa membayar royalti menuai perhatian luas di kalangan pelaku usaha kuliner, termasuk di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Imbasnya, banyak pengelola restoran, kafe, dan hotel kini merasa cemas, terutama karena belum memahami aturan yang mengatur soal pemutaran musik di ruang usaha.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Sukoharjo, Oma Nuryanto, menyatakan kekhawatiran tersebut dirasakan oleh sebagian besar anggota PHRI di wilayahnya. Ia mengaku bahwa kasus hukum yang menimpa Mie Gacoan membuat para pelaku usaha berpikir ulang untuk memutar lagu di tempat usahanya.

“Kami semua jadi khawatir. Kasus Mie Gacoan ini cukup membuat pelaku usaha seperti kami berpikir ulang untuk memutar lagu-lagu di tempat usaha. Jangan sampai kami pun bernasib serupa hanya karena ketidaktahuan soal aturan yang berlaku,” ujar Oma saat dikonfirmasi pada Senin (4/8/2025).

Oma menambahkan, hingga saat ini belum ada sosialisasi resmi dari pihak berwenang mengenai tata cara pembayaran royalti, lembaga yang menaungi, hingga aturan teknis seperti masa berlaku lisensi dan mekanisme pembayaran.

“Kami di daerah belum pernah mendapatkan penjelasan langsung soal regulasinya. Kami butuh sosialisasi. Bagaimana proses pembayarannya, apa yang kami dapatkan setelah membayar, dan berapa lama masa berlakunya. Ini semua masih belum jelas,” terang Oma.

Ia menegaskan bahwa pelaku usaha pada prinsipnya siap mengikuti aturan, namun dibutuhkan pendampingan yang jelas dari instansi terkait seperti Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) maupun Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

“Harapan kami, secepatnya ada sosialisasi dari pihak-pihak terkait, supaya kami bisa menjalankan usaha dengan tenang, tanpa takut melanggar hukum,” imbuhnya.

Kasus royalti musik yang menyeret Mie Gacoan memang menyita perhatian publik. Jaringan restoran cepat saji ini dituntut secara pidana oleh LMK karena memutar musik berhak cipta tanpa membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta.

Isu ini tidak hanya berdampak di Sukoharjo. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), PHRI juga telah menyampaikan imbauan kepada anggotanya agar mematuhi ketentuan yang berlaku. Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono, mengatakan bahwa sebagian pelaku usaha telah mengetahui kewajiban membayar royalti dari pemberitaan media dan imbauan dari Badan Pimpinan Pusat (BPP) PHRI.

“Kami sudah mengimbau kepada anggota PHRI di DIY, terutama restoran, untuk selalu menghindari masalah hukum terkait royalti dan bisa mengikuti aturan-aturan yang ada,” kata Deddy.

Namun, Deddy juga mengakui bahwa informasi yang diterima di tingkat daerah masih sangat terbatas. Sosialisasi secara langsung dari pemerintah maupun LMK dinilai belum optimal.

Baca Juga: Bantengan Nuswantara ke-17, Ikon Budaya Kota Batu yang Gaet Wisatawan Mancanegara

“Sosialisasi detail belum kita dapat. Informasi sejauh ini masih melalui berita-berita dan imbauan dari pusat. Harapannya tentu pemerintah bisa lebih gencar turun ke daerah-daerah,” jelasnya.

Ia juga menyarankan para pelaku usaha untuk tidak ragu menghubungi langsung Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) apabila membutuhkan penjelasan lebih lanjut tentang prosedur pembayaran royalti.

“Penerapannya memang agak sulit di lapangan, tapi kami bisa langsung bertanya ke lembaga yang ditunjuk, yaitu LMKN,” ujarnya.

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham juga telah menegaskan bahwa setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik untuk keperluan komersial, wajib membayar royalti. Hal ini berlaku untuk semua jenis usaha seperti restoran, kafe, toko, hotel, hingga pusat kebugaran.

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, menjelaskan bahwa layanan streaming seperti Spotify, YouTube Premium, maupun Apple Music bersifat personal dan tidak mencakup hak pemutaran musik untuk ruang usaha.

“Langganan pribadi tidak mencakup hak untuk pemutaran musik di tempat umum. Bila musik tersebut diputar untuk publik, maka itu sudah termasuk penggunaan komersial dan memerlukan lisensi tambahan yang sah,” ujar Agung dalam pernyataan tertulisnya di Jakarta, Selasa (30/7/2025).

Agung juga menyebutkan bahwa dasar hukum kewajiban ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Pembayaran royalti dilakukan melalui LMKN yang memiliki kewenangan untuk menghimpun dan menyalurkan royalti kepada para pencipta lagu. Pelaku usaha dapat mengakses informasi lengkap melalui laman resmi LMKN atau mendatangi kantor perwakilan terdekat.

Dengan maraknya kasus royalti, diharapkan ke depan pelaku usaha dapat menjalankan aktivitas bisnisnya dengan tenang, tanpa mengabaikan hak-hak para pencipta karya musik. Pemerintah dan LMK pun diminta hadir lebih aktif dalam memberikan edukasi, pendampingan, dan kemudahan dalam pelaksanaan aturan tersebut.

Baca Juga: Tak Ada Pengibaran Bendera One Piece, Bakesbangpol Malang Ajak Warga Ikut Awasi Menjelang HUT RI KE-80