InfoMalang – Kasus tragis penganiayaan anak kembali terjadi di Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten. Seorang anak berusia 4 tahun meninggal dunia setelah mengalami kekerasan berulang yang dilakukan oleh ayahnya, AAY (26), dan ibunya, FT (25). Kepolisian menyebut kematian korban disebabkan oleh benturan benda tumpul di area perut yang mengakibatkan perdarahan serius. Kedua orang tua korban kini ditetapkan sebagai tersangka.
Kasat Reskrim Polres Tangerang Selatan, AKP Wira Graha Setiawan, menjelaskan bahwa rasa penyesalan mendalam muncul dari kedua pelaku setelah penangkapan. AAY mengaku menyesal telah melakukan tindakan yang mengakhiri nyawa putra kandungnya. Sementara itu, FT juga terlihat sangat terpukul ketika berhadapan dengan keluarga besarnya.
Baca Juga:Komunitas Roblox Indonesia Dorong Regulasi Cerdas di Tengah Isu Pemblokiran 2025
“Setiap tersangka setelah ditangkap pasti merasa penyesalan. Ayahnya mengakui kesalahan itu, begitu juga ibunya saat kami antar pulang ke rumah dan bertemu dengan kakek nenek korban,” ujar Wira dalam konferensi pers di Mapolres Tangsel, Sabtu (9/8/2025).
Menurut Wira, kekerasan yang berujung maut ini bermula dari kemarahan orang tua terhadap perilaku anak yang dianggap rewel dan berkata kasar. Peristiwa puncak terjadi pada 25 Juli 2025, ketika korban mengalami penganiayaan lebih dari tiga kali dalam satu hari.
Kejadian bermula saat FT dan korban berada di apotek. AAY yang sedang di rumah menyuruh korban untuk tidak berbaring di lantai karena sedang dibersihkan. Namun, korban tidak merespons instruksi tersebut, memicu kemarahan sang ayah.
“Pelaku AAY langsung menendang korban di bagian pinggul kiri sebanyak dua kali menggunakan kaki kanannya,” jelas Wira.
Setelah itu, korban dibanting ke arah kardus bekas kulkas dengan posisi telentang. Akibatnya, korban menangis dan mulai muntah, awalnya berupa cairan, kemudian muntah darah. Kondisi ini tidak menghentikan kemarahan sang ayah.
Beberapa waktu kemudian, AAY mencoba menyuapi korban, namun anak tersebut menolak makan. Penolakan ini kembali memicu emosi pelaku, terlebih korban telah muntah lebih dari lima kali. AAY kemudian memukul pundak kiri korban menggunakan sapu ijuk sebanyak dua kali.
Melihat kejadian tersebut, FT justru ikut terpancing emosi. Ia menarik rambut korban sambil menyeretnya ke kamar mandi agar muntah di tempat tersebut. Setelah itu, korban tertidur pada sore hari.
Sekitar pukul 21.00 WIB, kondisi korban memburuk. Ia terlihat lemas, merintih, dan kesakitan. Kedua orang tua akhirnya membawa korban ke klinik terdekat pada pukul 21.30 WIB. Pihak klinik menyarankan agar korban segera dirujuk ke rumah sakit. Namun, setibanya di rumah sakit, korban dinyatakan sudah meninggal dunia.
Hasil pemeriksaan medis menunjukkan adanya luka akibat kekerasan benda tumpul di perut yang menyebabkan perdarahan internal. Luka tersebut diduga menjadi penyebab utama kematian korban.
Atas perbuatannya, AAY dijerat Pasal 80 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan/atau Pasal 44 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Ancaman hukumannya berat, mulai dari pidana penjara seumur hidup hingga hukuman mati, atau penjara maksimal 20 tahun.
“Ancaman hukuman untuk ayah korban adalah pidana mati atau penjara seumur hidup, sesuai dengan pasal yang berlaku,” ungkap Wira.
Sementara itu, status FT sebagai tersangka tidak membuatnya ditahan. Kepolisian mempertimbangkan faktor kemanusiaan karena FT masih memiliki anak lain yang membutuhkan perawatan. Meski demikian, proses hukum tetap berjalan.
Kasus ini kembali memicu keprihatinan publik terhadap maraknya kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga. Faktor emosi, ketidakmampuan mengendalikan amarah, serta minimnya pengetahuan tentang pola asuh positif menjadi sorotan para pemerhati anak. Dalam banyak kasus, kekerasan terjadi karena orang tua tidak mampu menghadapi perilaku anak dengan cara yang sehat dan konstruktif.
AKP Wira menegaskan bahwa aparat penegak hukum akan terus mengusut kasus ini hingga tuntas. Ia juga mengingatkan masyarakat agar tidak segan melapor jika mengetahui adanya dugaan kekerasan pada anak di lingkungan sekitar.
“Kami mengimbau masyarakat untuk peduli terhadap keselamatan anak-anak. Jika ada indikasi kekerasan, segera laporkan agar dapat ditangani sebelum terlambat,” tegasnya.
Tragedi ini menjadi pengingat bahwa perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya keluarga inti. Lingkungan sekitar, tetangga, hingga instansi terkait memiliki peran penting dalam mencegah kekerasan yang bisa berujung pada hilangnya nyawa anak.
Kasus tragis penganiayaan anak kembali terjadi di Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten. Seorang anak berusia 4 tahun meninggal dunia setelah mengalami kekerasan berulang yang dilakukan oleh ayahnya, AAY (26), dan ibunya, FT (25). Kepolisian menyebut kematian korban disebabkan oleh benturan benda tumpul di area perut yang mengakibatkan perdarahan serius. Kedua orang tua korban kini ditetapkan sebagai tersangka.
Kasat Reskrim Polres Tangerang Selatan, AKP Wira Graha Setiawan, menjelaskan bahwa rasa penyesalan mendalam muncul dari kedua pelaku setelah penangkapan. AAY mengaku menyesal telah melakukan tindakan yang mengakhiri nyawa putra kandungnya. Sementara itu, FT juga terlihat sangat terpukul ketika berhadapan dengan keluarga besarnya.
“Setiap tersangka setelah ditangkap pasti merasa penyesalan. Ayahnya mengakui kesalahan itu, begitu juga ibunya saat kami antar pulang ke rumah dan bertemu dengan kakek nenek korban,” ujar Wira dalam konferensi pers di Mapolres Tangsel, Sabtu (9/8/2025).
Menurut Wira, kekerasan yang berujung maut ini bermula dari kemarahan orang tua terhadap perilaku anak yang dianggap rewel dan berkata kasar. Peristiwa puncak terjadi pada 25 Juli 2025, ketika korban mengalami penganiayaan lebih dari tiga kali dalam satu hari.
Kejadian bermula saat FT dan korban berada di apotek. AAY yang sedang di rumah menyuruh korban untuk tidak berbaring di lantai karena sedang dibersihkan. Namun, korban tidak merespons instruksi tersebut, memicu kemarahan sang ayah.
“Pelaku AAY langsung menendang korban di bagian pinggul kiri sebanyak dua kali menggunakan kaki kanannya,” jelas Wira.
Setelah itu, korban dibanting ke arah kardus bekas kulkas dengan posisi telentang. Akibatnya, korban menangis dan mulai muntah, awalnya berupa cairan, kemudian muntah darah. Kondisi ini tidak menghentikan kemarahan sang ayah.
Beberapa waktu kemudian, AAY mencoba menyuapi korban, namun anak tersebut menolak makan. Penolakan ini kembali memicu emosi pelaku, terlebih korban telah muntah lebih dari lima kali. AAY kemudian memukul pundak kiri korban menggunakan sapu ijuk sebanyak dua kali.
Melihat kejadian tersebut, FT justru ikut terpancing emosi. Ia menarik rambut korban sambil menyeretnya ke kamar mandi agar muntah di tempat tersebut. Setelah itu, korban tertidur pada sore hari.
Sekitar pukul 21.00 WIB, kondisi korban memburuk. Ia terlihat lemas, merintih, dan kesakitan. Kedua orang tua akhirnya membawa korban ke klinik terdekat pada pukul 21.30 WIB. Pihak klinik menyarankan agar korban segera dirujuk ke rumah sakit. Namun, setibanya di rumah sakit, korban dinyatakan sudah meninggal dunia.
Hasil pemeriksaan medis menunjukkan adanya luka akibat kekerasan benda tumpul di perut yang menyebabkan perdarahan internal. Luka tersebut diduga menjadi penyebab utama kematian korban.
Atas perbuatannya, AAY dijerat Pasal 80 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan/atau Pasal 44 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Ancaman hukumannya berat, mulai dari pidana penjara seumur hidup hingga hukuman mati, atau penjara maksimal 20 tahun.
“Ancaman hukuman untuk ayah korban adalah pidana mati atau penjara seumur hidup, sesuai dengan pasal yang berlaku,” ungkap Wira.
Sementara itu, status FT sebagai tersangka tidak membuatnya ditahan. Kepolisian mempertimbangkan faktor kemanusiaan karena FT masih memiliki anak lain yang membutuhkan perawatan. Meski demikian, proses hukum tetap berjalan.
Kasus ini kembali memicu keprihatinan publik terhadap maraknya kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga. Faktor emosi, ketidakmampuan mengendalikan amarah, serta minimnya pengetahuan tentang pola asuh positif menjadi sorotan para pemerhati anak. Dalam banyak kasus, kekerasan terjadi karena orang tua tidak mampu menghadapi perilaku anak dengan cara yang sehat dan konstruktif.
AKP Wira menegaskan bahwa aparat penegak hukum akan terus mengusut kasus ini hingga tuntas. Ia juga mengingatkan masyarakat agar tidak segan melapor jika mengetahui adanya dugaan kekerasan pada anak di lingkungan sekitar.
“Kami mengimbau masyarakat untuk peduli terhadap keselamatan anak-anak. Jika ada indikasi kekerasan, segera laporkan agar dapat ditangani sebelum terlambat,” tegasnya.
Tragedi ini menjadi pengingat bahwa perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya keluarga inti. Lingkungan sekitar, tetangga, hingga instansi terkait memiliki peran penting dalam mencegah kekerasan yang bisa berujung pada hilangnya nyawa anak.















