Breaking

Israel Mantapkan Rencana Kuasai Gaza: Masa Depan Hamas di Ujung Tanduk

InfoMalangPernyataan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, kembali memanaskan situasi di Timur Tengah. Dalam sebuah pernyataan yang menuai sorotan dunia, Netanyahu menegaskan niat Israel untuk mengambil alih kendali penuh atas seluruh wilayah Gaza. Meski ia mengklaim tidak berniat mendudukinya secara permanen, langkah ini memicu pertanyaan besar: bagaimana nasib Hamas ke depan, dan apakah mereka mampu bertahan di tengah tekanan yang terus meningkat?

Hamas Tetap Menolak Letakkan Senjata

Sebelum pernyataan Netanyahu, Hamas telah menegaskan kembali bahwa mereka tidak akan melepaskan senjata kecuali negara Palestina yang berdaulat terbentuk. Bagi Israel dan Amerika Serikat, perlucutan senjata adalah syarat utama untuk menghentikan konflik. Namun, Hamas melihat hal tersebut sebagai bentuk penyerahan diri sebelum tujuan perjuangan mereka tercapai.

Di sisi lain, konferensi internasional PBB yang digelar di New York dan dipimpin bersama Arab Saudi serta Prancis menghasilkan deklarasi berisi seruan agar Hamas menyerahkan kendali Gaza. Deklarasi itu ditandatangani 17 negara, Uni Eropa, dan Liga Arab—termasuk Mesir serta Qatar, dua mediator utama konflik. Menariknya, Israel dan AS justru tidak ikut menandatangani dokumen tersebut.

Baca Juga:Rencana Indonesia Rawat Warga Gaza di Pulau Galang: 5 Fakta Penting yang Perlu Diketahui

Pasal 11 Deklarasi New York dan Implikasinya

Salah satu poin yang banyak dibicarakan adalah Pasal 11 deklarasi yang menyebut bahwa tata kelola pemerintahan dan keamanan di Palestina harus berada di bawah otoritas resmi Palestina. Menurut pengamat politik Palestina, Hossam Al-Dajany, jika keseluruhan isi deklarasi dijalankan, maka secara tidak langsung Hamas akan kehilangan kontrolnya di Gaza.

Kondisi Hamas Saat Ini

Secara militer, Hamas memang masih memiliki pasukan bersenjata, namun sumber daya mereka semakin menipis. Laporan dari sumber lokal menyebutkan, mereka kini mengandalkan senjata hasil daur ulang dari bom Israel yang gagal meledak. Persediaan amunisi semakin terbatas, membuat mereka bergantung pada kreativitas untuk tetap bertahan.

Hamas juga membentuk unit keamanan baru bernama “Sahma” atau “Unit Panah” untuk menjaga ketertiban dan mencegah penjarahan. Meski demikian, kritik dari warga Gaza terhadap kepemimpinan Hamas semakin keras, terutama akibat kelangkaan pangan dan bantuan kemanusiaan. Organisasi PBB memperingatkan bahwa Gaza kini berada di ambang kelaparan massal.

Tekanan dari Luar Negeri

Selain tekanan internal, Hamas juga menghadapi isolasi di tingkat regional. Dukungan Iran menurun setelah perang singkat antara Israel dan Teheran menguras sumber daya negara tersebut. Hizbullah di Lebanon, yang biasanya menjadi sekutu, kini juga melemah karena serangan Israel dan tekanan pemerintah Lebanon untuk melucuti senjata mereka.

Bahkan Liga Arab, yang beranggotakan 22 negara, ikut menandatangani deklarasi yang meminta Hamas menyerah. Hal ini menunjukkan perubahan sikap negara-negara Arab yang dulunya lebih simpatik terhadap Hamas.

Sandera Sebagai Kartu Tawar

Sejak serangan 7 Oktober 2023 yang menewaskan lebih dari seribu orang di Israel, Hamas masih menahan sejumlah sandera. Data AS menyebut, dari 251 orang yang sempat disandera, sekitar 20 diyakini masih hidup. Hamas menggunakan isu sandera ini untuk menekan Israel agar menghentikan operasi militer. Baru-baru ini, mereka merilis video salah satu sandera, Evatar David, yang tampak lemah dan kurus, memicu desakan keluarga korban kepada pemerintah Israel untuk segera menyelesaikan negosiasi.

Kehilangan Pemimpin Kunci

Serangan Israel juga berhasil menewaskan sejumlah pemimpin tertinggi Hamas, termasuk Ismail Haniyeh dan Yehya Sinwar. Kehilangan figur sentral membuat Hamas berada di persimpangan jalan. Para analis menilai, pimpinan yang tersisa harus membuat keputusan strategis yang sulit: bertahan dengan risiko kehancuran total, atau mulai berkompromi demi kelangsungan politik.

Masa Depan Hamas: Bertahan atau Runtuh?

Jika Israel benar-benar mengambil alih Gaza sepenuhnya, peluang Hamas untuk mempertahankan kekuasaan akan semakin kecil. Namun, jika suatu saat negara Palestina terbentuk, mereka berkomitmen menyerahkan senjata kepada otoritas resmi. Meski begitu, pembentukan negara Palestina sendiri masih jauh dari kemungkinan, terutama jika Israel tetap pada sikap politiknya saat ini.

Pengamat dari Chatham House, Yossi Mekelberg, menilai bahwa meskipun Hamas bisa saja kehilangan kekuatan bersenjata, mereka mungkin akan mencari cara untuk tetap relevan di dunia politik Palestina, baik dari dalam maupun luar wilayah.

Realitas di Lapangan

Situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk. Serangan udara Israel menghancurkan infrastruktur vital, dan akses bantuan kemanusiaan dibatasi. Warga sipil terjebak di antara pertempuran, dengan risiko tinggi terhadap kelaparan dan penyakit. Dalam kondisi seperti ini, popularitas Hamas di mata sebagian warga bisa terkikis, meski mereka tetap memiliki basis pendukung yang setia.

Langkah Netanyahu untuk “mengambil kendali penuh” atas Gaza jelas akan menentukan arah konflik ini. Tekanan internasional, dinamika politik internal Palestina, dan nasib para sandera akan menjadi faktor penentu apakah Hamas akan tetap bertahan sebagai kekuatan signifikan, atau hanya menjadi bagian dari sejarah konflik panjang di wilayah tersebut.

Baca Juga:Ekspedisi Robot Ungkap Ruang M1sterius di Dalam Piramida Agung Giza