Breaking

Kelangkaan Solar dan Dampaknya: Roda Ekonomi Kecil yang Tersendat

InfoMalangDi sejumlah wilayah Indonesia, khususnya kawasan timur, antrean panjang di SPBU menjadi pemandangan yang semakin sering terlihat. Deretan truk logistik terhenti di pinggir jalan, mobil pengangkut hasil panen tidak bergerak, dan kapal nelayan menunggu berhari-hari di dermaga kecil. Semua menunggu satu hal yang kini terasa semakin sulit didapat: solar bersubsidi.

Bagi sebagian warga kota besar, antrean solar hanya sekilas berita yang lewat di layar televisi. Namun bagi sopir, nelayan, petani, dan pelaku logistik skala kecil, sulitnya mendapatkan solar adalah ancaman nyata bagi keberlangsungan hidup. Setiap hari tanpa bahan bakar berarti hilangnya pemasukan, tertundanya produksi, dan terhentinya perputaran ekonomi keluarga.

Baca Juga:Israel Mantapkan Rencana Kuasai Gaza: Masa Depan Hamas di Ujung Tanduk

Solar: Tulang Punggung Ekonomi Mikro

Dalam ekonomi daerah, terutama di wilayah yang mengandalkan sektor produksi harian, solar adalah penggerak utama. Sopir truk pengangkut hasil tani, misalnya, bekerja dengan sistem pembayaran per perjalanan. Jika tangki kosong, perjalanan batal, dan penghasilan hari itu lenyap. Sementara kebutuhan rumah tangga—makan, biaya sekolah, tagihan listrik—tidak bisa ditunda.

Nelayan pun menghadapi nasib serupa. Di desa pesisir, mereka biasanya berangkat melaut sebelum fajar. Namun kelangkaan solar membuat jadwal berlayar mundur atau bahkan batal. Akibatnya, pasar kekurangan pasokan ikan segar, harga naik, dan konsumen ikut terdampak.

Petani juga bergantung pada solar untuk mengoperasikan mesin pompa air, alat bajak, hingga penggilingan padi. Ketika distribusi bahan bakar terganggu, musim tanam dan panen bisa kacau. Dampaknya tidak hanya pada produktivitas, tetapi juga pada ketersediaan bahan pangan di pasaran.

Dengan kata lain, solar adalah nadi bagi ekonomi rakyat kecil. Gangguan pasokannya menciptakan efek domino: penurunan produksi, berkurangnya pendapatan, hingga terganggunya ketahanan pangan dan distribusi logistik lokal.

Distribusi Energi yang Belum Merata

Masalah kelangkaan solar bersubsidi tidak lepas dari persoalan distribusi energi yang timpang. Ironisnya, kelompok yang paling bergantung pada solar justru kerap menjadi pihak yang paling sulit mendapatkannya.

Prinsip konstitusi Indonesia menegaskan bahwa sumber daya alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun dalam praktik, distribusi bahan bakar bersubsidi masih sering tidak tepat sasaran. Sebagian besar nelayan kecil tidak memiliki kartu nelayan, petani tidak terdata sebagai penerima subsidi, dan sopir angkutan harian kalah cepat dalam antrean panjang di SPBU.

Pemerintah memang telah berupaya membatasi subsidi agar tepat sasaran. Namun kebijakan di lapangan masih menemui hambatan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 60% pelaku usaha mikro di sektor pertanian dan perikanan bergantung pada BBM bersubsidi. Tanpa sistem distribusi yang lebih adil, kelompok ini akan terus terpinggirkan dan kesenjangan ekonomi makin lebar.

Dampak Sosial dan Ekonomi yang Mengkhawatirkan

Kelangkaan solar bukan sekadar masalah teknis, melainkan persoalan yang mengancam kestabilan sosial. Ketika truk pengangkut hasil tani tidak beroperasi, harga komoditas di pasar bisa melonjak karena biaya distribusi meningkat.

Di sektor perikanan, nelayan yang tidak bisa melaut dalam jangka waktu lama berisiko kehilangan pelanggan tetap. Di pertanian, keterlambatan panen bisa membuat hasil produksi menurun, bahkan rusak. Situasi ini pada akhirnya membebani konsumen, yang harus membayar lebih mahal untuk bahan pangan dan kebutuhan pokok.

Dampak lanjutan yang jarang dibicarakan adalah meningkatnya tekanan psikologis pada masyarakat. Pendapatan yang menurun, utang yang menumpuk, dan kebutuhan keluarga yang tak bisa ditunda menciptakan beban mental yang berat bagi para pekerja sektor ini.

Langkah Strategis untuk Perbaikan

Kelangkaan solar bersubsidi tidak bisa dibiarkan menjadi rutinitas tahunan. Pemerintah pusat dan daerah perlu melakukan langkah konkret, antara lain:

  1. Pendataan Ulang Penerima Subsidi – Memastikan nelayan, petani, sopir logistik kecil, dan pelaku UMKM benar-benar masuk dalam daftar penerima manfaat.

  2. Digitalisasi Pengawasan Distribusi – Menggunakan sistem berbasis aplikasi atau kartu pintar untuk memantau penyaluran solar agar tidak diselewengkan.

  3. Prioritas Sektor Produktif – Menetapkan kuota khusus untuk sektor pertanian, perikanan, dan logistik kecil sebelum memenuhi permintaan lainnya.

  4. Edukasi Penggunaan Efisien – Mengajak masyarakat memanfaatkan bahan bakar secara hemat tanpa mengurangi produktivitas.

Dengan strategi yang terarah, distribusi solar bisa lebih tepat sasaran dan berkeadilan.

Mengembalikan Hak Atas Energi

Energi adalah kebutuhan dasar bagi pembangunan. Ia bukan sekadar komoditas, tetapi bagian dari hak publik yang harus dijamin negara. Ketika akses terhadap solar terhambat, yang terganggu bukan hanya mesin, tetapi juga keberlangsungan hidup jutaan keluarga yang menggantungkan penghasilan pada kerja harian.

Jika masalah ini dibiarkan, risiko yang dihadapi bukan hanya penurunan ekonomi lokal, tetapi juga melemahnya ketahanan pangan, terganggunya distribusi logistik, dan meningkatnya kesenjangan sosial.

Maka, kelangkaan solar seharusnya menjadi peringatan keras bahwa sistem distribusi energi kita masih belum berpihak sepenuhnya pada rakyat kecil. Sudah saatnya kebijakan energi menempatkan kepentingan mereka di posisi teratas, sehingga setiap tetes solar benar-benar menggerakkan roda ekonomi, bukan sekadar menguap di tengah jalan.

Baca Juga:Rencana Indonesia Rawat Warga Gaza di Pulau Galang: 5 Fakta Penting yang Perlu Diketahui