Kota Batu, yang selama ini dikenal luas sebagai “Kota Apel”, kini menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan ikon buahnya. Dari tahun ke tahun, jumlah lahan apel mengalami penurunan signifikan. Data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Distan-KP) Kota Batu menunjukkan penurunan yang cukup drastis, baik dari sisi luasan lahan maupun volume produksi. Pada akhir tahun 2024, luas kebun apel tercatat hanya 740,07 hektare, berkurang sekitar 83,26 hektare dibanding tahun sebelumnya. Kondisi ini berbanding lurus dengan turunnya hasil panen apel, yang kini jauh dari masa kejayaannya.
Produksi apel Kota Batu yang pada tahun 2020 masih mencapai 430.057 kwintal, terus menurun hingga tersisa 140.285 kwintal pada 2024. Penurunan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari perubahan iklim, penurunan kualitas tanah, tingginya biaya perawatan, hingga berkurangnya minat generasi muda untuk menjadi petani. Banyak anak muda di wilayah ini memilih bekerja di sektor lain yang dianggap lebih menjanjikan secara finansial, baik di luar kota maupun di luar negeri.
Utomo, petani asal Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, mengungkapkan bahwa regenerasi petani apel kini hampir tidak ada. “Anak muda sekarang lebih memilih kerja di luar. Hasil dari bertani apel sudah tidak seperti dulu,” ujarnya. Ia menambahkan, hasil panen saat ini sangat jauh menurun dibanding lima tahun lalu, sehingga tidak banyak yang mau meneruskan usaha tani keluarga.
Tantangan terbesar bagi petani adalah tingginya biaya operasional. Perawatan pohon apel memerlukan pupuk, pestisida, dan tenaga kerja yang tidak sedikit. Kustono, atau yang akrab disapa Tono, salah satu pemilik kebun apel di Desa Tulungrejo, mengaku banyak rekannya yang mulai kesulitan menutupi biaya produksi dari hasil penjualan apel. Apalagi, pasar kini semakin selektif, hanya menerima apel berukuran besar, sehingga buah yang ukurannya kecil sering kali tidak laku dan terbuang.
Kondisi inilah yang mendorong sejumlah petani untuk mengubah strategi. Banyak yang beralih dari penjualan hasil panen ke sektor agrowisata, khususnya wisata petik apel. Tono sendiri kini lebih fokus mengelola kebunnya sebagai destinasi wisata. Pengunjung yang masuk kebun dikenakan tarif Rp 20 ribu per orang, dan jika ingin membawa apel hasil petikan, akan dikenakan biaya tambahan sesuai beratnya. “Model ini lebih menguntungkan dibanding harus pasok ke pasar. Tidak ada standar ukuran yang ketat, dan semua buah bisa dimanfaatkan,” jelas Tono.
Wisata petik apel juga mendapat keuntungan dari tren promosi digital. Melalui media sosial, popularitas wisata ini terus meningkat. Dalam sehari, Tono bisa menerima 100 hingga 150 pengunjung, dan jumlahnya bisa melonjak hingga tiga kali lipat saat akhir pekan atau musim liburan. Menurutnya, pemasukan dari wisata petik apel relatif stabil meskipun kondisi iklim tidak menentu.
Baca Juga: Dr. Tompi Umumkan Secara Resmi Keluar dari Keanggotaan WAMI
Fenomena peralihan ke agrowisata ini juga diamati oleh Pemerintah Kota Batu. Kepala Dinas Pariwisata (Disparta) Kota Batu, Onny Ardianto, menyebutkan bahwa pihaknya terus berupaya menjaga eksistensi apel sebagai ikon daerah. Salah satunya adalah dengan mengintegrasikan kebun apel ke dalam paket wisata unggulan. “Dengan banyaknya kunjungan wisatawan, kami berharap petani kembali melirik apel sebagai komoditas utama,” ujar Onny.
Namun, upaya mempertahankan apel bukan hanya soal menarik wisatawan, tetapi juga memastikan keberlanjutan produksi. Pemerintah daerah bersama instansi terkait terus mencari solusi, mulai dari penyediaan bibit unggul, pendampingan teknis, hingga bantuan pemasaran. Harapannya, langkah-langkah ini dapat menekan laju penurunan luas lahan dan mendorong petani untuk tetap mempertahankan tanaman apel.
Di sisi lain, perubahan komoditas juga menjadi pilihan banyak petani. Selain mengalihkan kebunnya menjadi destinasi wisata, sebagian petani di Batu mulai menanam jeruk yang dianggap lebih mudah perawatan dan memiliki pasar yang stabil. Meski begitu, pergeseran ini memunculkan kekhawatiran bahwa identitas “Kota Apel” bisa terkikis jika tren beralih komoditas terus berlanjut.
Bagi masyarakat Batu, apel bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi juga bagian dari sejarah dan kebanggaan daerah. Oleh karena itu, berbagai pihak mendorong adanya strategi komprehensif yang menggabungkan sektor pertanian dan pariwisata secara seimbang. Dengan demikian, petani tetap mendapatkan penghasilan yang layak, sementara apel sebagai ikon daerah tetap terjaga keberadaannya.
Melihat tren saat ini, masa depan apel Batu akan sangat bergantung pada kemauan generasi muda untuk kembali ke pertanian, dukungan pemerintah dalam mengatasi kendala teknis, serta inovasi pemasaran yang memadukan nilai jual produk dengan daya tarik wisata. Jika semua pihak mampu bekerja sama, bukan tidak mungkin kejayaan apel Batu bisa kembali bangkit, meskipun bentuk bisnisnya mungkin akan berbeda dengan masa lalu.
Baca Juga:KTP Hilang? Begini Cara Mengurus Penggantian dan Persyaratannya Secara Resmi















