Breaking

Jejak Budaya Tak Boleh Pudar,Tokoh NTT Serukan Kalangan Muda untuk Aktif Melestarikan

MALANG, Jawa Timur – Di tengah pesatnya modernisasi, warisan budaya sering kali terancam terlupakan. Namun, di Malang, sebuah seni pertunjukan kuno kembali dihidupkan dengan semangat baru. Topeng Menak, sebuah kreasi budaya yang unik, kini mendapat sorotan dalam acara “Burak Bawana Menak” yang digelar oleh Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Kota Malang. Acara yang berlangsung di Pesantren Budaya Karanggenting pada Sabtu (9/8/2025), ini menjadi panggung bagi Ketua Lesbumi PBNU, KH. M. Jadul Maula, untuk mengupas tuntas jejak panjang seni ini, dari Persia hingga menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Malang.

Memahami “Burak Bawana Menak” Menggugah Semangat Peradaban

KH Jadul Maula mengawali penjelasannya dengan memaknai nama acara ini, sebuah langkah yang memberikan konteks dan tujuan yang jelas. “Burak Bawana Menak ini artinya, Burak itu menggugah lagi ya membangkitkan lagi, menggugah. Bawana ini artinya dunia, dan Menak itu kisah menak ya cerita menak dalam konteks ini adalah topeng menak,” ujarnya. Penjelasan ini menunjukkan bahwa acara tersebut bukan sekadar pertunjukan, melainkan sebuah seruan untuk membangkitkan kembali seni yang pernah berjaya, menginspirasi dunia dengan nilai-nilai peradaban yang terkandung di dalamnya.

KH Jadul Maula lantas menceritakan, kisah Menak berakar dari legenda kepahlawanan Amir Hamzah, paman Nabi Muhammad SAW, yang terkenal pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid. Kisah ini tidak hanya berisi narasi kepahlawanan, tetapi juga sarat akan nilai-nilai moral, etika, dan strategi perjuangan. Cerita ini, dari Timur Tengah, kemudian menyebar ke wilayah Melayu, diterjemahkan menjadi Hikayat Amir Hamzah. Proses ini terjadi di masa yang penuh gejolak, yaitu saat jatuhnya Kesultanan Malaka ke tangan Portugis sekitar tahun 1511. Peristiwa ini menandai awal masuknya kolonialisme Barat ke Nusantara. Kondisi sosial dan politik yang tidak stabil ini menuntut para ulama untuk mengambil langkah strategis, sebuah pengalaman yang membentuk cara dakwah di Nusantara.

Baca Juga:Rencong Batu, Simbol Budaya Aceh Selatan yang Bernilai Ekonomi Tinggi

Strategi Dakwah dan Akulturasi Budaya oleh Wali Songo

Menghadapi kegoncangan tersebut, para ulama dan awliya membangun strategi kebudayaan dengan meramu narasi peradaban. “Para ulama, para awliya kemudian membangun strategi kebudayaan membangun narasi peradaban. Memberi semangat untuk mempertahankan kedaulatan. Salah satunya dengan mengadaptasi kisah-kisah menjadi hikayat Amir Hamzah,” ungkap KH Jadul Maula. Hikayat ini kemudian diadaptasi lebih lanjut oleh para Wali Songo, terutama Sunan Giri, menjadi Serat Menak.

Sunan Giri adalah tokoh kunci penyebaran Islam di Jawa yang memadukan dakwah dengan seni pertunjukan. Selain menggarap kisah Menak, ia juga dikenal sebagai penggagas pementasan kisah Panji melalui Wayang Gedog. Dalam konteks ini, KH Jadul Maula menjelaskan, tiga kisah besar—Mahabharata, Panji, dan Menak—digabungkan menjadi satu kesatuan narasi yang saling menguatkan. “Kalau disusun di sebuah pohon, jadi kalau akarnya itu kisah Panji, lalu batang cabang itu lalu antara kisah menak dan kisah Mahabharata. Jadi bisa gabung nanti,” tambahnya. Perpaduan narasi ini membuktikan kecerdasan para ulama dalam menggunakan media seni untuk menyampaikan pesan dakwah, sebuah metode yang sangat efektif dan berakar pada budaya lokal. Fakta sejarah ini juga memberikan bobot pada penjelasan yang disampaikan.

Kelahiran Topeng Menak di Malang Kreativitas dan Perbumisasian

Kisah Menak awalnya dipentaskan dalam bentuk wayang golek. Namun, di Malang, cerita ini mengalami adaptasi yang unik. Masyarakat menggabungkan topeng Panji dengan kisah Menak, melahirkan bentuk seni baru yang dikenal sebagai Topeng Menak. “Di Malang ini muncul Topeng menak. Ini satu kreativitas ya, hibriditas ya, campur. Nah topeng sendiri dulunya itu dipopulerkan untuk menarikan Panji kemudian jadi menak,” kata KH Jadul.

Istilah “Menak” sendiri di Nusantara adalah gelar kebangsawanan, dikenal di berbagai daerah seperti Sunda, Palembang, hingga Banyuwangi. Tokoh legendaris Prabu Menak Jinggo adalah salah satu contohnya. Proses adaptasi kisah Amir Hamzah menjadi kisah Menak di Jawa ini disebut Jadul sebagai “perbumisasian”, yaitu penyesuaian cerita asing agar sesuai dengan konteks budaya lokal, menjadikannya relevan dan mudah diterima masyarakat. Melalui proses ini, kisah Menak tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga menjadi alat pendidikan budaya dan agama. Nilai-nilai kepahlawanan, kesetiaan, kebijaksanaan, dan keberanian yang terkandung di dalamnya terus diwariskan kepada masyarakat. Pengalaman menyaksikan seni ini secara langsung membangun keyakinan pada kekayaan budaya lokal.

Topeng Menak Modal Sosial Bangsa dan Visi Masa Depan

Bagi KH Jadul Maula, Topeng Menak bukan sekadar peninggalan masa lalu. Ia adalah bukti kecerdasan para ulama Nusantara dalam meramu dakwah, seni, dan strategi peradaban. “Intinya ini bagian dari strategi dakwah membangun peradaban supaya bangsa Indonesia itu punya wawasan yang luas tapi punya akar sejarah, akar tradisi,” tegasnya. Pesan ini menunjukkan wawasan luas dalam melihat peran strategis seni budaya dalam pembangunan karakter bangsa.

Dengan program Burak Bawana Menak yang diinisiasi Lesbumi Kota Malang, diharapkan kesenian ini bisa kembali populer dan mendapatkan tempat di hati generasi muda. Upaya ini juga menjadi langkah awal yang strategis untuk mengusulkan Topeng Menak sebagai Warisan Budaya Takbenda Nasional. Keberhasilan acara ini menjadi modal sosial yang kuat untuk mewujudkan tujuan tersebut. Inisiatif ini memiliki dukungan kuat dan berpotensi besar untuk diakui secara resmi.

Baca Juga:Hotel Tugu Malang Rayakan Kemerdekaan dengan Pertunjukan Budaya Jaranan Pegon