MALANG, Jawa Timur – Ratusan pembeli perumahan di Kabupaten Malang yang merasa dirugikan oleh pengembang, PT Sirod Sejahtera Abadi Sejahtera, akhirnya mengadukan nasib mereka ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Malang. Setelah tiga tahun menanti tanpa kejelasan, para pembeli ini menuntut hak-hak mereka untuk dipenuhi. Pengaduan ini memicu Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Ruang Gajayana DPRD Kabupaten Malang, yang dihadiri oleh berbagai pihak terkait, termasuk perwakilan dari kedua belah pihak.
Tuntutan Konsumen dan Sikap Tegas DPRD
Dalam RDPU tersebut, yang didampingi oleh anggota Komisi I dan Komisi III DPRD Kabupaten Malang, tuntutan para pembeli perumahan menjadi prioritas utama. Ketua Komisi I, Amarta Faza, menegaskan bahwa perlindungan hak konsumen adalah hal yang paling penting. “Warga yang sudah melakukan pelunasan tentu berhak segera menerima sertifikat dan kunci. Kami akan mengawal, agar pengembang menuntaskan kewajiban ini tanpa menunda,” ujar Amarta Faza usai RDPU.
Faza juga menyoroti pentingnya aspek perizinan. Menurutnya, kelengkapan izin bukan hanya sekadar syarat administratif, melainkan bagian krusial dari upaya melindungi keamanan dan kepastian hukum bagi konsumen. Kasus ini menjadi contoh nyata betapa celah dalam perizinan bisa memicu konflik berkepanjangan.
Sebagai jalan keluar, mediasi yang dilakukan oleh Komisi I menghasilkan sebuah kesepakatan tegas. Apabila pengembang tidak mampu mewujudkan rumah sesuai perjanjian, maka pengembang wajib mengembalikan seluruh dana yang sudah disetor oleh konsumen. Kesepakatan ini menjadi bentuk tanggung jawab hukum dan moral yang harus diemban oleh pengembang. Untuk memastikan janji ini ditepati, Komisi I akan berkoordinasi dengan Satpol PP dan instansi teknis terkait untuk melakukan pengawasan dan penegakan aturan.
Baca Jaga:20 Rekomendasi Nama Kelas Aesthetic IPS dengan Konsep Modern dan Futuristik
Akar Masalah: Kendala Perizinan di Lahan Hijau
Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Malang, Aris Waskito, mengungkapkan bahwa masalah ini sudah berlangsung selama tiga tahun tanpa ada kemajuan. Usut punya usut, masalah utama yang dialami pengembang adalah kendala perizinan. Lahan yang digunakan untuk perumahan komersial tersebut ternyata termasuk dalam kawasan lahan hijau yang diperuntukkan bagi ketahanan pangan.
“Selama tiga tahun tidak berjalan perumahannya sesuai sudah dijanjikan pengembang. Sebab masalahnya tadi soal perizinan, karena masuk lahan hijau untuk ketahanan pangan,” kata Aris Waskito.
Mediasi yang dilakukan DPRD Kabupaten Malang akhirnya membuahkan hasil. Dalam waktu tiga bulan, pengembang harus melakukan pengembalian uang kepada konsumen. Apabila kewajiban tersebut tidak terpenuhi, masalah ini bisa berujung menjadi perkara hukum.
Seorang pembeli bernama Nana menceritakan pengalamannya. Ia membeli dua unit rumah tipe 36 di Perumahan Sirod River Park yang berlokasi di Desa Permanu, Pakisaji, pada tahun 2021. Nana mengaku sudah membayarkan biaya tunai hingga Rp240 juta untuk dua unit rumah tersebut. Padahal, sesuai perjanjian terakhir, penyerahan kunci seharusnya dilakukan pada akhir Desember 2024.
“Kami sudah menanyakan baik-baik, sampai sudah adendum perjanjian 4 kali. Tetapi, sampai tidak ada pembangunan rumah yang siap huni,” keluh Nana. Ia dan 9 orang pembeli lainnya kini menuntut itikad baik dari pengembang untuk mengembalikan uang mereka. “Jika tetap wanprestasi, akan diangkat perkara pidana. Meski, kewajiban perdata pengembalian uangnya tetap harus jalan,” ujar Nana, menunjukkan keseriusan para pembeli dalam menuntut keadilan.
Kasus ini menjadi peringatan bagi masyarakat agar lebih cermat sebelum membeli properti. Memastikan legalitas pengembang dan status perizinan lahan adalah langkah fundamental yang tidak boleh diabaikan. Para pembeli merasa terjerat janji manis yang berujung pada kerugian finansial dan ketidakpastian. Keputusan DPRD untuk memediasi dan memberikan tenggat waktu yang jelas diharapkan bisa menjadi solusi konkret. Dengan adanya pengawalan dari lembaga legislatif, para korban memiliki harapan besar agar hak-hak mereka bisa dikembalikan. Kasus ini sekaligus menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya fungsi pengawasan dewan terhadap aktivitas bisnis yang berpotensi merugikan masyarakat.
Mengapa Masalah Ini Terus Berulang?
Kasus seperti yang menimpa pembeli di Perumahan Sirod River Park bukanlah yang pertama kali terjadi. Pengamat properti dan hukum sering kali menyoroti beberapa faktor yang berkontribusi pada berulangnya masalah ini. Salah satunya adalah kurangnya transparansi dari pihak pengembang terkait status perizinan lahan. Banyak pengembang cenderung memulai pemasaran dan penjualan unit bahkan sebelum semua izin, termasuk Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan sertifikat lahan, sepenuhnya rampung. Mereka mengandalkan kepercayaan konsumen dan iming-iming harga promosi yang menarik.
Selain itu, pengawasan dari instansi pemerintah terkait, seperti Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) serta Badan Pertanahan Nasional (BPN), terkadang belum maksimal. Keterbatasan sumber daya dan prosedur yang rumit sering kali membuat proses pengawasan menjadi lambat. Hal ini memberikan celah bagi pengembang nakal untuk beroperasi tanpa mematuhi semua regulasi yang berlaku. Warga yang awam tentang hukum dan prosedur perizinan properti menjadi pihak yang paling rentan. Mereka biasanya hanya fokus pada harga dan desain rumah tanpa menelisik lebih dalam soal legalitas.
Kondisi ini diperparah dengan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Meskipun ada aturan yang jelas, sering kali proses hukum yang panjang dan berbelit membuat korban enggan untuk melanjutkan ke ranah pidana. Akibatnya, pengembang yang wanprestasi merasa tidak ada efek jera dan bisa mengulangi perbuatannya di lain waktu. RDPU yang digelar oleh DPRD Kabupaten Malang ini diharapkan bisa menjadi langkah awal yang kuat untuk menekan pengembang agar bertanggung jawab.
Proaktif Melindungi Diri: Langkah yang Harus Diambil Konsumen
Untuk menghindari kerugian serupa, ada beberapa langkah proaktif yang bisa diambil oleh calon pembeli properti. Pertama dan yang paling penting adalah memeriksa legalitas pengembang dan perizinan proyek secara mandiri. Calon pembeli bisa meminta pengembang untuk menunjukkan dokumen-dokumen penting, seperti Akta Pendirian Perusahaan, surat izin usaha, dan sertifikat lahan induk. Dokumen ini dapat diverifikasi keabsahannya di kantor BPN atau DPMPTSP setempat.
Langkah kedua adalah memahami isi perjanjian jual beli dengan saksama. Jangan pernah menandatangani dokumen yang tidak dimengerti sepenuhnya. Jika perlu, konsultasikan perjanjian tersebut dengan notaris atau ahli hukum. Perhatikan poin-poin krusial seperti tenggat waktu pembangunan, mekanisme penyerahan sertifikat, dan sanksi jika terjadi wanprestasi.
Ketiga, jangan tergiur dengan harga yang terlalu murah. Harga yang jauh di bawah pasaran bisa menjadi indikasi adanya masalah, baik dari sisi perizinan maupun kualitas bangunan. Lakukan riset harga di area sekitar untuk mendapatkan gambaran yang realistis.
Keempat, kunjungi langsung lokasi proyek dan amati perkembangannya. Jika pembangunan berjalan sangat lambat atau tidak ada tanda-tanda aktivitas sama sekali, itu bisa menjadi sinyal bahaya. Tanyakan langsung kepada pekerja atau warga sekitar tentang reputasi pengembang.
Dengan semakin terbukanya informasi dan adanya dukungan dari lembaga seperti DPRD, diharapkan konsumen bisa menjadi lebih berdaya dalam menghadapi risiko di pasar properti. Kasus PT Sirod Sejahtera Abadi Sejahtera ini adalah sebuah pengingat pahit, tetapi juga menjadi momentum penting untuk meningkatkan kesadaran dan perlindungan konsumen di sektor properti.
Baca Juga:Selamat Tinggal Kereta Kelas Bisnis, Sambut Perubahan Baru di Pulau Jawa Per tanggal 15 Juli 2025















