infomalang.com/ – Gerakan pencegahan perundungan di lingkungan pendidikan kini menjadi perhatian serius di Malang. Untuk memperkuat komitmen ini, Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM) mengadakan sebuah acara penting bertajuk Advoasik Camp #Happytanpabully Batch Malang pada Jumat, 22 Agustus 2025.
Acara ini digelar di BBPPMPV Bidang Otomotif dan Elektronika dengan melibatkan seratus peserta dari kalangan siswa dan guru. Kegiatan ini menegaskan bahwa advokasi bukan hanya soal menghentikan kekerasan, tetapi juga membangun ruang aman bagi tumbuh kembang siswa.
Melalui keterlibatan berbagai pihak, pendidikan di Malang diarahkan untuk benar-benar bebas dari praktik perundungan.
Kegiatan ini menjadi momentum penting di tengah maraknya kasus perundungan yang masih sering terjadi di sekolah. Tujuannya adalah untuk mengedukasi siswa dan guru, membangun kesadaran kolektif, dan menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih positif.
PP IPM menyadari bahwa masalah perundungan tidak bisa diselesaikan hanya oleh satu pihak, melainkan membutuhkan sinergi dan kolaborasi dari seluruh elemen masyarakat.
Dukungan Pemerintah dan Kolaborasi Tiga Pilar Pendidikan
Acara ini mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Hadir dalam kegiatan, Staf Ahli Kemendikdasmen RI, Biyanto, yang menekankan pentingnya peran kementerian dalam menciptakan lingkungan pendidikan tanpa kekerasan.
Menurutnya, salah satu langkah nyata yang terus diperkuat adalah Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang ramah, agar siswa merasa nyaman dan aman sejak awal memasuki lingkungan baru.
Biyanto juga menyoroti pengaruh media sosial sebagai salah satu faktor pemicu perilaku perundungan. Menurutnya, pelajar membutuhkan figur teladan yang nyata untuk dijadikan panutan. Tanpa adanya role model, mereka cenderung meniru perilaku negatif dari media digital yang seringkali tidak terkontrol.
Selain itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Vokasi Kemendikbudristek RI, Muhammad Hasbi, turut menyampaikan apresiasi terhadap terselenggaranya kegiatan ini. Ia menegaskan bahwa kolaborasi antara siswa, guru, dan pemerintah adalah kunci untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang sehat.
Sinergi ini, yang disebutnya sebagai “tiga pilar pendidikan,” sangat fundamental. Melalui sinergi tersebut, sekolah tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga wadah penguatan karakter.
Lingkungan belajar yang bebas perundungan akan mendorong terciptanya iklim Merdeka Belajar yang sesungguhnya, di mana siswa dapat belajar dan berekspresi tanpa rasa takut.
Peran Lembaga Penyelenggara dan Gerakan Kolektif
Kepala BBPPMPV Bidang Otomotif dan Elektronika, Gusti Made Ardana, juga menyambut baik inisiatif PP IPM. Ia menilai pelatihan kali ini unik karena menghadirkan guru dan siswa secara bersamaan.
“Ini adalah kombinasi yang luar biasa. Perpaduan ini membuat diskusi lebih efektif dan menyentuh persoalan secara langsung,” kata Gusti.
Menurutnya, dialog antara pendidik dan peserta didik sangat penting. Dengan begitu, perundungan bisa dicegah bukan hanya lewat teori, tetapi juga dengan komunikasi dua arah yang lebih jujur dan terbuka.
Baca Juga: Belajar Masak Mudah dengan Kursus Memasak di Malang
Ketua PP IPM Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik, Fajri Syahidinillah, menegaskan bahwa Advoasik Camp bukan sekadar pelatihan biasa. Program ini dirancang sebagai gerakan kolektif untuk menghentikan praktik perundungan di sekolah.
Fajri menjelaskan bahwa tujuan utama kegiatan ini adalah membangun “ruang aman” bagi siswa. “Kami ingin memastikan bahwa setiap siswa merasa dilindungi dan memiliki tempat untuk tumbuh tanpa rasa cemas.
Advokasi yang kami jalankan tidak hanya berfokus pada menghentikan kekerasan, tetapi juga memastikan ekosistem sekolah mendukung tumbuh kembang pelajar secara positif,” ujarnya.
Perspektif Religius, Historis, dan Data Terkini
Dalam kesempatan lain, Affan Fitrahman menyoroti bahwa perundungan telah dikenal sejak lama. Bahkan, fenomena ini tercatat dalam Surah Al-Hujurat ayat 11 yang melarang umat saling merendahkan.
Hal ini menunjukkan bahwa perundungan adalah persoalan moral dan sosial yang harus ditangani secara serius. “Ini bukan hanya masalah di zaman sekarang, tetapi sudah menjadi isu moral sejak zaman dulu. Agama kita sudah mengajarkan untuk tidak saling merendahkan,” kata Affan.
Data terkini juga memperlihatkan bahwa hampir setengah kasus perundungan anak di Indonesia terjadi di lingkungan pendidikan. Fakta ini memperkuat alasan IPM untuk terus berada di garda depan dalam memutus mata rantai perilaku buruk tersebut.
“Angka ini sangat memprihatinkan dan menjadi alarm bagi kita semua. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat paling aman kedua setelah rumah, justru menjadi tempat di mana perundungan sering terjadi,” tambah Sakinah Fitrah Rahmah, perwakilan penyelenggara.
Pentingnya Sinergi dan Harapan ke Depan
Sakinah Fitrah Rahmah menekankan pentingnya dukungan pemerintah dan organisasi masyarakat. Dengan menggandeng Peacegen serta dukungan dari Kemendikdasmen, langkah pencegahan bisa lebih efektif.
Ia juga menyoroti bahwa kasus perundungan masih sering muncul dalam pemberitaan terkini, yang membuktikan bahwa gerakan pencegahan harus terus berlanjut. “Tanpa kerja sama yang berkesinambungan, sulit menciptakan sekolah yang benar-benar bebas perundungan,” katanya.
Ketua Pimpinan Wilayah IPM Jawa Timur, Hengky Pradana, menutup rangkaian acara dengan menekankan perlunya pendekatan komprehensif. Menurutnya, advokasi bukan hanya sekadar menghentikan kekerasan, tetapi juga memastikan setiap siswa memiliki ruang tumbuh yang sehat.
Melalui komitmen bersama ini, Malang diharapkan menjadi contoh bagi daerah lain. Sekolah bebas perundungan bukan hanya impian, melainkan tujuan yang dapat dicapai dengan sinergi nyata dari semua pihak.
Dengan menempatkan siswa sebagai subjek sekaligus penerima manfaat, ekosistem pendidikan di Malang diharapkan semakin aman dan nyaman. Dari sinilah lahir harapan besar untuk mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga kuat secara karakter.
Baca Juga: Peran Pendidikan Seni dan Budaya dalam Identitas Malang













