Breaking

Strategi Baru Garam Modangan Malang, Pasarkan ke Peternak

Infomalang – Pasir, air laut, dan matahari adalah tiga unsur utama yang membentuk aktivitas produksi garam pantai di Modangan, Kabupaten Malang. Namun gejolak pasar garam konsumsi mendorong para petani garam lokal mencari strategi baru. Salah satu langkah inovatif yang kini dijalankan adalah memasarkan garam Modangan kepada kalangan peternak sapi dan kambing sebagai campuran pakan. Langkah ini dinilai strategis untuk menjaga keberlanjutan produksi dan mendiversifikasi pangsa pasar.

Latar Belakang dan Tantangan Produksi Garam Modangan

Garam Modangan selama ini dikenal sebagai garam lokal pantai yang diproduksi oleh kelompok usaha garam rakyat di Desa Sumberoto, Kecamatan Donomulyo. Produksi garam konsumsi menghadapi hambatan, terutama karena ketidaktersediaan fasilitas rumah produksi, infrastruktur pengolahan, dan persaingan dengan garam industri besar. Akibatnya, para petani kesulitan menjangkau pasar konsumen luas dan seringkali harus menjual garam dalam bentuk setengah jadi.

Biaya produksi menjadi salah satu beban besar. Dalam satu kali panen, kelompok usaha garam (KUGAR) rata-rata memproduksi sekitar 4 ton. Namun, total biaya produksi bisa mencapai sekitar Rp 3,2 juta — angka yang harus ditutup agar usaha tetap bertahan. Tanpa pemasukan yang stabil dari pasar, petani garam rentan mengalami kerugian atau penurunan skala usaha.

Langkah Strategis: Mengincar Pasar Peternak

Sebagai solusi, KUGAR Sumberoto memilih jalur baru: memasarkan garam sebagai bahan campuran pakan ternak. Ketua KUGAR Sumberoto Makmur Sejahtera, Edi Santoso, menyampaikan bahwa garam akan dijual khusus untuk peternak sapi dan kambing, dengan harga sekitar Rp 2.000 per kilogram. Untuk menyederhanakan distribusi, mereka menggandeng Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih Sumberoto sebagai mitra pemasaran.

Target pasar ini dinilai menjanjikan. Di kawasan pedesaan sekitarnya, kebutuhan garam untuk pakan hewan relatif tinggi. Para peternak memerlukan garam sebagai sumber natrium dan mineral, dan mereka cenderung tidak mencari garam berkualitas tinggi secara visual seperti garam konsumsi. Hal ini menjadi peluang bagi garam Modangan, meski memiliki warna sedikit keruh, asalkan kandungan garam dan kebersihannya sesuai standar kebutuhan pakan.

Kemasan dan Desain Produk yang Disesuaikan

Agar lebih menarik dan efisien, pihak KUGAR tengah merancang kemasan yang sesuai kebutuhan peternak. Rencananya, garam akan dijual dalam kemasan kecil kilogram atau dalam kemasan karung berkapasitas besar. Desain kemasan tidak hanya fokus estetika, tetapi juga aspek fungsional: label jelas, informasi penggunaan, dan segel keamanan agar mutu tetap terjaga.

Desain kemasan menjadi salah satu elemen penting dalam upaya branding dan kepercayaan pembeli. Dengan kemasan yang tepat, garam Modangan tidak lagi dilihat sebagai produk “sampingan”, tetapi sebagai bahan pakan komplementer yang dapat diandalkan. Kopdes Merah Putih akan menjadi ujung tombak distribusi dan pengenalan produk kepada peternak lokal dan sekitarnya.

Harga, Volume Produksi, dan Prioritas Pasar

Dalam penyampaian Edi Santoso, harga Rp 2.000 per kilogram dirasa cukup kompetitif untuk pasar peternak. Namun, jumlah kemasan dan besaran volume masih dalam perhitungan. Dalam kondisi stok produksi sekitar 4 ton per panen, keputusan dibuat bahwa pangsa pasar peternak akan diprioritaskan terlebih dahulu—setidaknya selama pasar konsumsi belum siap menyerap kapasitas penuh.

Kebutuhan rantai pasok juga menjadi pertimbangan. Faktor seperti pengangkutan ke peternak, kemasan, serta keamanan produk harus diperhitungkan agar margin tetap memungkinkan untuk menutup biaya produksi dan memperoleh keuntungan. Strategi ini diharapkan menciptakan aliran pemasukan yang berkelanjutan, sekaligus mengurangi risiko stok menumpuk.

Inovasi Produk Sekunder: Air Sisa Kristalisasi

Sebagai tambahan inovasi, KUGAR juga mempertimbangkan menyalurkan air sisa kristalisasi garam sebagai produk sekunder. Air ini memiliki potensi digunakan sebagai bahan pengental alami tahu. Rencananya, air sisa tersebut akan dijual sekitar Rp 3.000 per liter selama persediaan masih ada.

Langkah ini menunjukkan pendekatan diversifikasi produk—tidak hanya menjual garam padat, tetapi memanfaatkan sub-produk yang selama ini mungkin dianggap limbah. Dengan memaksimalkan nilai dari sisi samping proses produksi, kelompok usaha garam bisa menambah pendapatan dan meminimalisir limbah.

Baca Juga: Lonjakan Harga Telur Ayam di Malang Picu Peternak Cari Alternatif Pakan

Tantangan dan Risiko dalam Strategi Baru

Meski peluang besar, strategi ini tidak tanpa tantangan. Pertama, kualitas garam yang dijual sebagai pakan harus tetap dijaga agar tidak mencemari pakan atau menyebabkan keracunan pada ternak. Perlu analisis kadar NaCl dan kontaminan.

Kedua, logistik dan distribusi menjadi ujian nyata. Mengirim garam ke area peternak yang tersebar memerlukan efisiensi agar ongkos tidak memakan margin. Kopdes Merah Putih harus membangun sistem pengantaran yang efektif.

Ketiga, edukasi kepada peternak penting agar mereka memahami manfaat dan cara penggunaan garam Modangan yang mengandung unsur yang tidak seputih garam konsumsi. Kepercayaan peternak menjadi kunci agar mereka mau mengganti bahan pakan mereka selama ini dengan produk garam lokal ini.

Potensi Jangka Panjang & Kontribusi Komunitas

Jika strategi ini berjalan efektif, dampaknya bisa luas. Pertama, petani garam lokal memperoleh pemasukan rutin, mengurangi kesenjangan antara musim produksi dan musim sepi. Kedua, ketergantungan pada garam impor atau garam industri besar untuk kebutuhan pakan hewan bisa ditekan. Ketiga, keberadaan koperasi sebagai mitra distribusi memperkuat ekonomi desa.

Dari sisi komunitas, strategi ini dapat memperkuat kolaborasi antara petani garam, lembaga koperasi, dan peternak lokal. Sinergi ini menjadi pondasi pengembangan industri garam lokal yang lebih berkelanjutan. Selain itu, pengembangan kemasan dan branding yang baik dapat membuka peluang untuk ekspansi ke pasar regional.

Baca Juga: Nur RH Travel Jambi Hadirkan Pengalaman Perjalanan Lebih Nyaman

Dalam situasi tantangan produksi garam konsumsi, petani garam Modangan mengambil langkah berani dengan mengalihkan fokus pemasaran ke peternak. Strategi ini melibatkan kemasan yang disesuaikan, kerjasama dengan koperasi desa, diversifikasi produk, dan penetapan harga kompetitif. Meski terdapat risiko terkait kualitas, logistik, dan edukasi, potensi pasar peternak cukup besar untuk menopang kelangsungan usaha.

Dengan inovasi ini, garam Modangan tidak hanya menjadi komoditas pantai semata — ia bisa menjadi alternatif bahan pakan lokal yang mendukung ketahanan ekonomi desa, mengurangi ketergantungan impor, dan memperkuat ikatan antara petani garam dan peternak. Jika langkah ini berjalan mulus, strategi baru ini bisa menjadi model pengembangan garam lokal lain di Indonesia yang menghadapi tantangan serupa.