Infomalang – Pada momen ketika generasi muda semakin akrab dengan teknologi, Festival Sastra Kota Malang 2025 mencoba mengembalikan perhatian Gen Z pada kekuatan cerita, terutama melalui sastra anak yang sederhana namun sarat makna. Festival ini menjadi ruang bagi mereka untuk membaca ulang kota dan menuliskannya dengan perspektif yang lebih jujur, segar, dan relevan.
Membaca Kota Melalui Imajinasi Festival Sastra dan Proses Kreatif Gen Z
Kesadaran untuk melihat kota dari kacamata baru menjadi salah satu gagasan utama dalam rangkaian kegiatan menuju Festival Sastra 2025. Alih-alih memandang kota hanya sebagai ruang fisik yang dihuni bangunan dan jalan raya, peserta diajak memahami kota sebagai lanskap emosional yang penuh cerita. Pendekatan ini menekankan bahwa sastra anak bukan hanya hiburan, tetapi jembatan untuk mengenalkan nilai kemanusiaan sejak dini. Gen Z, dengan kepekaan sosial dan kreativitas yang tinggi, dianggap mampu meramu pengalaman kota menjadi kisah yang dekat dengan keseharian pembaca muda.
Melalui lokakarya dan sesi diskusi, generasi muda diperkenalkan pada konsep bahwa cerita anak harus berpijak pada realitas namun tetap menyisakan ruang untuk imajinasi. Proses kreatif ini menuntut kemampuan mendengar, mengamati, dan menangkap detail kecil di sekitar mereka. Dalam festival sastra, peserta diajak tidak hanya menjadi penulis, tetapi juga pembaca kota yang kritis. Mereka belajar bahwa kisah yang baik bukan sekadar rangkaian kata, melainkan hasil perenungan terhadap interaksi sosial, perubahan ruang, dan memori kolektif yang menyusun identitas sebuah kota.
Mengasah Sensitivitas Sosial Festival Sastra sebagai Ruang Latihan Empati
Salah satu alasan mengapa cerita anak dipilih sebagai medium utama adalah kemampuannya menanamkan nilai empati sejak usia dini. Melalui cerita, anak-anak belajar memahami orang lain, mengenali perasaan, dan menyadari bahwa setiap individu memiliki latar belakang berbeda. Peserta lokakarya Festival Sastra 2025 dilatih untuk menyusun narasi yang tidak hanya menarik, tetapi juga mencerminkan keberagaman pengalaman warga kota. Mereka diajak menggali fenomena sosial—dari kehidupan pedagang kaki lima, pekerja malam, hingga dinamika anak-anak di ruang publik kota.
Latihan empati ini menjadi lebih relevan ketika Gen Z terlibat langsung dalam proses kreatif. Mereka turun ke lapangan, berdialog dengan warga, dan mengamati lingkungan sekitar. Setelah itu, mereka mengolah pengalaman tersebut menjadi cerita anak yang menyentuh, ramah pembaca cilik, dan tetap tajam secara emosional. Festival sastra dengan demikian bukan hanya ajang unjuk karya, tetapi ruang pembentukan kepekaan generasi muda terhadap realitas sosial.
Baca juga: UB Perkuat Pertahanan Siber dengan Pamugas untuk Menumpas Judi Online
Dari Pengalaman Pribadi Menjadi Cerita Festival Sastra dan Pendekatan Komunikatif
Salah satu metode yang digunakan dalam lokakarya persiapan festival adalah pendekatan komunikatif dalam menulis. Peserta tidak hanya diajak memahami teori, tetapi langsung mempraktikkan cara mengembangkan pengalaman pribadi menjadi cerita utuh. Mereka belajar bahwa inspirasi dapat muncul dari hal-hal sederhana— perjalanan pulang sekolah, interaksi dengan teman sebaya, atau pertemuan singkat dengan sosok asing yang meninggalkan kesan mendalam. Cerita-cerita semacam ini kemudian dirangkai dalam bahasa yang hangat dan mudah diterima pembaca anak-anak.
Pendekatan komunikatif juga memungkinkan peserta saling memberi umpan balik. Mereka belajar berdiskusi, mengkritik secara konstruktif, dan mengembangkan gagasan bersama. Suasana yang dialogis membuat proses belajar terasa lebih ringan namun tetap bermakna. Pada akhirnya, festival sastra ini memposisikan diri sebagai ruang aman bagi Gen Z untuk mencoba, bereksperimen, dan menemukan gaya menulis mereka sendiri.
Membangun Jejaring Literasi Festival Sastra sebagai Kolaborasi Kreatif
Festival Sastra 2025 tidak berdiri sendiri; ia lahir dari kolaborasi banyak pihak, mulai dari kampus, komunitas literasi, hingga lembaga pendidikan. Kolaborasi ini memperkuat ekosistem literasi kota dan memberi ruang luas bagi mahasiswa serta penulis muda untuk menunjukkan kapasitas mereka dalam mengelola kegiatan literasi. Melalui kerja sama ini, peserta dapat merasakan bagaimana sebuah acara sastra dirancang, dijalankan, dan dikembangkan menjadi kegiatan berskala besar yang berdampak nyata.
Di sisi lain, kolaborasi antarkomunitas juga menghidupkan semangat berbagi pengalaman dan memperluas jaringan kreatif. Para narasumber, fasilitator, dan peserta memiliki kesempatan saling belajar, membangun relasi profesional, serta memperkaya wawasan tentang dunia penulisan. Festival sastra pun hadir sebagai wadah yang tidak hanya memproduksi karya, tetapi juga memproduksi peluang dan masa depan bagi generasi baru penulis kota.
Menuju Kota yang Lebih Humanis Festival Sastra dan Harapan bagi Penulis Muda
Tujuan besar dari Festival Sastra 2025 adalah menghadirkan penulis muda yang mampu menciptakan karya bermakna dan berkelanjutan. Melalui cerita anak, peserta diajak melihat kota sebagai tempat untuk tumbuh bersama, tempat yang menyimpan banyak kisah yang layak dituturkan kembali. Dengan membangun kebiasaan menulis sejak dini, generasi muda diharapkan lebih mampu mengekspresikan diri serta memberi kontribusi positif bagi perkembangan budaya literasi di kota mereka.
Lebih jauh lagi, festival ini menjadi pengingat bahwa sastra memiliki kekuatan untuk menghidupkan kembali hal-hal yang terlupakan. Banyak sudut kota yang tampak biasa ternyata memiliki potensi besar untuk dijadikan cerita anak yang hangat, lucu, dan sarat makna. Ketika Gen Z diberikan ruang untuk bercerita, mereka tidak hanya menciptakan karya, tetapi juga menemukan identitas kota dan diri mereka sendiri.
Baca juga: Semarak Pelatihan dan Kompetisi CPR LPPM UM Bukti Kesiapan Gen Z Bertindak













