Breaking

Anjloknya Harga Nikel Guncang Ekonomi Tambang Indonesia

infomalang.com/ Jakarta, 2025 — Harga nikel global merosot ke titik terendah dalam lima tahun terakhir, mengguncang industri tambang Indonesia yang selama ini menjadi andalan utama perekonomian. Indonesia—negara pemilik cadangan nikel terbesar di dunia—secara agresif memperluas kapasitas pengolahan dan ekspor, tetapi lonjakan pasokan global justru membawa tekanan berat pada strategi negara ini.

Ekspansi Masif yang Kini Tertekan

Sejak melarang ekspor bijih mentah pada 2020, Pemerintahan Jokowi dan kini Presiden Prabowo Subianto mendorong pembangunan 49 pabrik peleburan RKEF dan 5 fasilitas HPAL, dengan puluhan fasilitas baru dalam pipeline. Namun, surplus kapasitas telah berbeda jauh melebihi permintaan. Menurut analis Macquarie, produksi nikel olahan Indonesia akan mencapai 1,5 juta ton tambahan, di atas 2,2 juta ton tahun lalu—sebuah ekspansi besar namun disertai risiko pasar jenuh.

Dampak Langsung ke Produsen dan Pekerja

Anjloknya harga telah memaksa sejumlah smelter besar untuk mengurangi produksi bahkan menghentikan operasi. Di Morowali, Tsingshan Holding Group, raksasa tambang China, melaporkan tidak lagi beroperasi pada kapasitas maksimal. Demikian pula Huadi Nickel Alloy dan Wanxiang Nickel Indonesia mulai menutup jalur produksi, bahkan memberhentikan sebanyak 70 pekerja, menurut serikat lokal.

Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey, menyatakan bahwa “smelter–smelter kecil akan tutup” jika trend ini terus berlangsung. Bahkan pihak industri menyoroti kemungkinan hingga 400.000 ton produksi nikel berisiko terganggu.

Tekanan Biaya dan Regulasi Tambahan

Harga bijih mentah domestik yang naik juga membebani industri. Lonjakan biaya logistik, cuaca buruk di Sulawesi, dan kenaikan tarif royalti membuat margin semakin tipis. Banyak fasilitas RKEF tidak lagi menguntungkan. Langkah pemerintah menaikkan tarif royalti menambah tekanan kas bagi produsen.

Risiko Industri Hilirisasi

Ekspansi di sektor hilir diniatkan mendorong hilirisasi dan penciptaan nilai tambah. Namun, krisis pasokan bijih dan anjloknya harga mengancam stabilitas strategi ini. APNI meminta pemerintah menunda persetujuan izin pabrik baru, dan mengamankan pasokan bijih untuk fasilitas yang telah ada. Tanpa pasokan yang cukup, investasi yang telah dikeluarkan bisa sia-sia, dan basis domestik sulit dipertahankan.

Baca Juga:Royalti Nikel Naik Tajam! Nasib INCO dan NCKL?

Ancaman terhadap Ekonomi Regional

Nikel merupakan penopang penting bagi ekspor Indonesia—sekitar 10% dari total ekspor, setara lebih dari 30 miliar USD per tahun. Penurunan harga global bisa melemahkan penerimaan negara, menekan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), dan menciptakan gelombang PHK. Industri terkait, termasuk logistik, energi, dan jasa pendukung, juga terkena imbas.

Tantangan Permintaan Global

Permintaan baterai kendaraan listrik seharusnya menjadi penyelamat industri nikel berkadar tinggi (HPAL). Namun, permintaan kendaraan listrik global melambat dan baterai jenis lithium-iron phosphate (LFP) lebih murah mengurangi pangsa pasar nikel. Hal ini menekan keuntungan jangka panjang dari hilirisasi berbasis EV.

Pilihan Kebijakan ke Depan

Pakar menilai perlu kombinasi langkah: melonggarkan ekspansi, memperlambat persetujuan pabrik baru, meningkatkan efisiensi operasional, dan memperkuat terobosan pasar global. Pemerintah juga dituntut memperbaiki regulasi dan akses bahan baku dari Filipina (10 juta ton impor tahun lalu).

Perlindungan terhadap smelter lokal dan menjaga keseimbangan antara harga dan pasokan dikedepankan. Transparansi dan prediktabilitas kebijakan akan meningkatkan kepercayaan investor serta kemampuan pasar untuk menyerap kelebihan kapasitas.

Kesimpulan

Indonesia menghadapi persimpangan strategi dalam era harga komoditas yang fluktuatif. Ambisi hilirisasi dan penguasaan pasar nikel dunia kini diuji oleh realitas oversupply dan tekanan harga. Negara harus menetapkan kebijakan cepat dan cermat—mungkin termasuk penundaan investasi baru—untuk menyelamatkan kapasitas yang sudah diumumkan. Sukses atau gagal, akan menjadi pelajaran penting bagi masa depan industri tambang nasional.

Baca Juga:Desakan Penambang Nikel Kuota Tambang Harus Stabil Tiga Tahun ke Depan