Geger! 34 kreditor PT PP Properti Tbk (PPRO) dengan total tagihan mencapai Rp 1.036.485.138.081 menolak keras keputusan perusahaan yang mengubah metode pembayaran bunga dan pokok utang obligasinya menjadi obligasi konversi (convertible bonds). Meskipun kalah voting dalam sidang PKPU, penolakan ini menimbulkan gelombang protes dari para investor.
"Kami meminjamkan uang tunai, dan kami berharap pembayarannya juga dalam bentuk tunai, bukan diubah menjadi obligasi konversi dengan kupon yang tak sesuai kesepakatan," tegas perwakilan pemegang obligasi PPRO kepada infomalang.com/, Selasa (18/2/2025).

Baca Juga : Perang Dingin Bukalapak dan Harmas: Saling Gugat Hingga PKPU!
Permasalahan bermula dari penundaan pembayaran bunga ke-11 Obligasi Berkelanjutan II PP Properti Tahap IV Tahun 2022 Seri B senilai Rp 163,5 miliar dengan bunga 10,60% per tahun yang jatuh tempo 14 Januari 2025. Penundaan ini terjadi karena PPRO berada dalam status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sementara selama 45 hari sejak 7 Oktober 2024.
Berdasarkan dokumen yang diterima infomalang.com/, PPRO akhirnya mengubah skema pembayaran menjadi obligasi konversi dengan bunga restrukturisasi hanya 0,5% per tahun, ditangguhkan selama 20 tahun termasuk masa tenggang (grace period), dan bunga tertunggak dihapuskan.
"Intinya, kami menolak konversi obligasi menjadi saham selama 20 tahun dengan kupon 0,5% per tahun. Kami merasa hak kami dirampas!" ungkap perwakilan investor dengan nada kecewa.
Sebelumnya, PPRO telah menawarkan rencana penyelesaian kewajiban kepada kreditur dalam beberapa tranche. Dua tranche, E (utang Rp 20-45 miliar) dan F (utang di atas Rp 45 miliar), diusulkan dikonversi menjadi saham. Tranche A-D akan dibayar melalui balloning payment, sementara tranche G dikonversi menjadi perpetual loan. Usulan penghapusan bunga dan denda tertunggak untuk semua tranche juga menuai kontroversi.
Namun, putusan final justru menetapkan seluruh pembayaran obligasi diubah menjadi obligasi konversi. PPRO bahkan menyatakan kegagalan konversi bukan wanprestasi selama di luar kendali perusahaan. Keputusan ini dianggap merugikan dan menimbulkan kekecewaan besar di kalangan pemegang obligasi.
Baca Juga : Heboh! Tak Cuma Indonesia, Negara Tetangga Juga Wajibkan 100% Devisa Masuk Negeri!















