Suaramedia.id – Drama penurunan tajam kembali terjadi di pasar saham Indonesia. Jumat (21/3/2025), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup ambles 1,94%, merosot ke level 6.258,18. Pergerakan negatif ini melibatkan 497 saham yang turun, berbanding 125 saham yang naik, sementara 289 saham lainnya stagnan. Nilai transaksi tercatat tinggi, mencapai Rp 21,48 triliun dari 21,26 miliar saham yang diperdagangkan dalam 1,26 juta transaksi.
Hanya sektor utilitas yang menunjukkan kinerja positif (5,48%), sementara sektor lainnya tertekan. Sektor properti mengalami penurunan terdalam (-3,52%), disusul teknologi (-3,44%), finansial (-3,18%), konsumer nonprimer (-3,07%), dan konsumer primer (-2,4%). Bank Central Asia (BBCA) menjadi salah satu penekan utama IHSG, mengalami penurunan signifikan dan berkontribusi -29,28 poin terhadap penurunan indeks. Bank Mandiri (BMRI) dan DCII juga turut memberikan andil negatif yang cukup besar, masing-masing -18,76 poin dan -16,11 poin.

Analis menilai, penurunan IHSG ini merupakan dampak kombinasi faktor global dan domestik. Dari sisi global, infomalang.com/ melaporkan bahwa penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS oleh The Fed, dibarengi kenaikan estimasi inflasi, membuat peluang penurunan suku bunga mengecil dan meningkatkan risiko staglasi. Pelemahan pasar AS dan Eropa, serta ketegangan geopolitik di Timur Tengah yang memicu kenaikan harga minyak, semakin memperburuk sentimen pasar. Arus keluar dana asing yang masih berlanjut akibat penguatan dolar AS dan ketidakpastian ekonomi global juga turut menekan IHSG.
Di sisi domestik, ketidakpastian kebijakan fiskal dan isu stabilitas pemerintahan membuat investor semakin waspada. Hal ini diungkapkan oleh ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang, dan diamini oleh analis dari Mirae Asset Sekuritas dan PT Sucor Sekuritas. Mereka menekankan bahwa ketidakpastian global dan domestik, termasuk isu kebijakan fiskal pemerintah, menjadi faktor utama penyebab penurunan IHSG. Potensi penurunan penerimaan pajak, isu pergantian menteri keuangan, hingga RUU TNI yang dinilai berpotensi mengurangi supremasi sipil, turut menambah kekhawatiran investor. Kondisi ini mendorong investor untuk mencari aset yang lebih aman, mempercepat aliran modal keluar dari Indonesia dan menekan IHSG lebih dalam.















