Breaking

Indonesia Rugi Rp500 Triliun per Tahun Akibat Impor Minyak 1 Juta Barel per Hari

InfoMalang Indonesia saat ini menghadapi krisis energi yang semakin nyata. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa negara harus mengimpor 1 juta barel minyak per hari (bph) untuk memenuhi kebutuhan domestik. Angka tersebut menimbulkan beban fiskal yang sangat besar, dengan perkiraan kerugian mencapai Rp500 triliun setiap tahun. Beban ini tentu menjadi tekanan serius terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta menimbulkan kekhawatiran terhadap kemiskinan dan ketahanan energi nasional.

Padahal, Indonesia dulunya dikenal sebagai eksportir minyak terbesar di Asia Tenggara. Kini, negara-negara justru bergantung pada impor untuk menjaga pasokan energi domestik, sebuah kondisi yang disebut banyak pakar sebagai alarm merah bagi masa depan energi nasional.

Konsumsi Tinggi, Menu Produksi: Ketimpangan Mengkhawatirkan

Dalam paparannya di Sidang Senat Terbuka Wisuda Politeknik Energi dan Mineral Akamigas, 17 Juli 2025, Bahlil menyatakan bahwa konsumsi minyak nasional saat ini telah menyentuh angka 1,6 juta barel per hari. Namun,lifting minyak nasional, yaitu jumlah minyak yang berhasil diangkat dari sumur, hanya sebesar 580 ribu barel per hari pada tahun 2024.

Artinya, terdapat selisih besar antara kebutuhan dan produksi, yaitu sekitar 1 juta barel per hari. Kekurangan inilah yang harus dipenuhi melalui impor dari luar negeri. Tidak hanya minyak mentah, Indonesia juga mengimpor produk turunan seperti BBM dan LPG. Implikasi finansialnya sangat besar, yakni mencapai sekitar Rp500 triliun per tahun.

Baca Juga: Anjloknya Harga Nikel Guncang Ekonomi Tambang Indonesia

Masa Keemasan yang Kini Tinggal Kenangan

Situasi ini kontras dengan kondisi Indonesia pada era 1996–1997. Saat itu, produksi minyak nasional berada di kisaran 1,5–1,6 juta barel per hari, sedangkan konsumsinya hanya sekitar 500 ribu barel. Indonesia bahkan mengekspor sekitar 1 juta barel per hari dan 40% pendapatan negara berasal dari sektor migas.

Namun sejak tahun 2008 hingga 2024, target pengangkatan minyak yang ditetapkan dalam APBN tidak pernah tercapai. Penyebabnya antara lain menurunnya cadangan migas, minimnya eksplorasi baru, lemahnya investasi sektor hulu, serta belum maksimalnya penggunaan teknologi dalam kegiatan eksplorasi dan produksi.

Dampak Ekonomi: Rupiah Melemah, Inflasi Meningkat

Ketergantungan pada impor energi menimbulkan dampak makroekonomi yang signifikan. Pertama, impor dalam jumlah besar saldo transaksi berjalan dan membuat nilai tukar rupiah semakin rentan terhadap gejolak eksternal, seperti konflik geopolitik atau penerimaan harga minyak dunia.

Kedua, beredarnya harga minyak global membuat biaya impor meningkat sehingga memicu inflasi domestik. Ketiga, pengeluaran untuk menggerus ruang fiskal negara, yang seharusnya bisa digunakan untuk sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Strategi Pemerintah: Menuju Kemandirian Energi

Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah menyiapkan berbagai strategi jangka menengah dan panjang, antara lain:

1. Revitalisasi Eksplorasi dan Produksi

Pemerintah tengah mendorong eksplorasi wilayah-wilayah potensial, terutama di timur Indonesia dan laut dalam. Tujuannya adalah menemukan cadangan baru yang dapat meningkatkan produksi nasional.

2. Perbaikan Iklim Investasi Hulu Migas

Pemerintah mengizinkan regulasi dan memberikan insentif fiskal untuk menarik investor. Harapannya, sektor hulu migas kembali diminati oleh pelaku industri, baik dalam negeri maupun asing.

3. Akselerasi Transisi Energi Terbarukan

Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki potensi besar dalam energi baru dan terbarukan (EBT), seperti tenaga surya, panas bumi, angin, dan bioenergi. Pemerintah terus mendorong pengembangan EBT untuk mengurangi ketergantungan pada energi bahan bakar fosil.

4. Efisiensi dan Digitalisasi Energi

Pemerintah mendorong efisiensi di sektor industri dan transportasi, sekaligus memanfaatkan teknologi digital dalam pengelolaan energi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi distribusi.

Peran Masyarakat dalam Krisis Energi

Tak hanya pemerintah, masyarakat juga memiliki tanggung jawab. Penggunaan kendaraan hemat energi, pelestarian kendaraan listrik, pengurangan konsumsi LPG, serta kesadaran untuk mendukung program energi bersih dapat memberikan kontribusi yang signifikan.

Pendidikan dan kampanye publik tentang pentingnya efisiensi energi dan pengurangan jejak karbon juga menjadi elemen penting dalam membentuk pola konsumsi energi yang lebih berkelanjutan.

Kesimpulan: Saatnya Berbenah dan Mandiri Energi

Dengan kerugian negara mencapai Rp500 triliun per tahun akibat impor minyak, jelas bahwa ketergantungan ini harus segera berakhir. Indonesia perlu mempercepat reformasi sektor energi dan mewujudkan kemandirian energi nasional.

Melalui kombinasi antara kebijakan pemerintah yang progresif, partisipasi sektor swasta, dan dukungan masyarakat, Indonesia dapat bangkit dari krisis energi dan membangun sistem energi yang lebih berkelanjutan, tangguh, dan mandiri untuk masa depan.

Baca Juga: Malaysia Dorong Integrasi Ekonomi ASEAN di Tengah Ancaman Tarif Global