infomalang.com/ JAKARTA – Pemerintah Indonesia menyatakan kewaspadaan terkait kemungkinan diberlakukannya tarif impor sebesar 19% atas barang ekspor Indonesia ke Amerika Serikat, sebelum batas waktu yang semula ditetapkan, yaitu 1 Agustus 2025. Pernyataan ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, pada 21 Juli 2025, mengingat keputusan akhir masih bergantung pada rilis pernyataan bersama antara kedua pemerintah.
Pada pertemuan tingkat tinggi pekan lalu, Indonesia dan AS menyepakati pengurangan tarif awal yang sempat diumumkan Trump dari 32% menjadi 19% . Namun, Airlangga menyoroti bahwa pengumuman resmi soal waktu mulai tarif tersebut belum jelas. “Waktu pemberlakuan tergantung pada pernyataan bersama yang diharapkan segera dikeluarkan,” ujarnya .
Latar Belakang Kesepakatan Tarif
Presiden AS Donald Trump sempat mengancam penerapan tarif tinggi sebesar 32% pada berbagai negara, termasuk Indonesia, jika tidak ada kesepakatan sebelum tenggat 1 Agustus. Kemudian, muncul kemajuan melalui perundingan yang berbuah kesepakatan menurunkan tarif menjadi 19%, sebagai bagian dari nota kesepahaman bilateral .
Meski begitu, klausul pelaksanaan belum final. Indonesia tengah merampungkan rincian terkait aturan pengecualian, termasuk sektor penting seperti kakao, karet, CPO, kopi, dan nikel . Tingkat nominal 19% tersebut akan menambah besaran tarif sektoral yang sudah berlaku.
Dalam kesepakatan ini juga disertakan komitmen Indonesia untuk membebaskan tarif terhadap barang AS (kecuali minuman beralkohol dan daging babi), mempermudah impor, membeli 50 pesawat Boeing, dan mengimpor energi dari AS melalui Pertamina, dengan syarat bisnis selesai ditinjau .
Implikasi bagi Ekonomi Indonesia
Pengumuman tarif 19% AS disambut dengan hati-hati oleh Bank Indonesia (BI). Pada 16 Juli, BI memutuskan menurunkan suku bunga dasar sebesar 0,25 poin persentase menjadi 5,25%, salah satunya karena optimisme dari kesepakatan AS ini. BI memperkirakan kesepakatan tersebut dapat mendorong ekspor sekaligus memitigasi efek negatif jika tarif diberlakukan lebih awal.
“Kebijakan ini akan mendukung ekspor dan prospek ekonomi secara umum,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo . Penurunan suku bunga diharapkan merangsang investasi dan menjaga stabilitas rupiah.
Namun, jika tarif diberlakukan sebelum 1 Agustus, para eksportir Indonesia harus menyiapkan strategi hedging dan negosiasi harga untuk menjaga daya saing produknya di pasar AS.
Baca Juga:Langkah Mengejutkan BI: Suku Bunga Dipotong Setelah Trump Turunkan Tarif RI menjadi 5,25%
Strategi Negosiasi Lanjutan
Meskipun kesepakatan tarif sudah dicapai, Indonesia tetap memperjuangkan pengecualian produk unggulan. Menteri Airlangga menyebut bahwa detail teknis akan tercantum dalam pernyataan bersama, yang menurut rencananya akan dirilis tidak lama lagi.
Menurut pejabat senior dari Kemenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, Indonesia menegaskan perlunya perlindungan bagi ekspor utama seperti CPO, nikel, dan komoditas pertanian . Pihak AS juga diharapkan menetapkan jaminan tidak menerapkan tarif ganda melalui skema transshipment.
Sementara itu, penutup kesepakatan termasuk komitmen pembelian energi sebesar $15 miliar, pembelian pertanian AS senilai $4,5 miliar, serta 50 pesawat Boeing, yang keseluruhan menunjukkan bentuk timbal balik perdagangan yang seimbang.
Proyeksi dan Rekomendasi Pelaku Ekspor
Bagi pelaku usaha, terutama UKM dan eksportir berskala menengah, disarankan:
-
Meningkatkan efisiensi biaya dan melakukan diversifikasi pasar alternatif seperti EU, Tiongkok, dan Asia Tenggara.
-
Memperkuat rantai pasok domestik untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku dan menjaga stabilitas harga.
-
Mengoptimalkan nilai tambah produk, misalnya dalam hal pengolahan atau sertifikasi standar internasional untuk meningkatkan daya saing meski terkena pajak ekspor.
Kesimpulan
Kesepakatan pengaturan tarif 19% AS terhadap barang Indonesia merupakan pencapaian diplomasi yang cukup positif dibandingkan ancaman sebelumnya sebesar 32%. Namun, munculnya risiko pemberlakuan sebelum 1 Agustus menjadi alarm bagi pelaku industri dan kebijakan fiskal.
Keberhasilan implementasi kesepakatan ini sangat bergantung pada detail pernyataan bersama dan respons kebijakan dalam negeri. BI telah siap mendukung stabilitas makro melalui kebijakan moneter dovish. Selanjutnya, pelaku eksportir masih perlu bersiap melalui penyesuaian strategi untuk menghadapi dinamika perdagangan global.
Dengan pendekatan kolaboratif antara pemerintah, pelaku usaha, dan regulator, Indonesia diharapkan dapat menjaga kinerja ekspornya tetap kuat dan adaptif terhadap gejolak eksternal. Pemerintah juga diinstruksikan terus memonitor perkembangan dan mengomunikasikannya secara transparan kepada publik dan dunia usaha.
Baca Juga:Bangga! Ar-Rohmah Putra IBS Cetak Prestasi Tertinggi di OSN-P Tingkat Kabupaten 2025















