Breaking

Israel Siapkan Serangan Baru, Netanyahu Minta Warga Gaza Tinggalkan Wilayah

InfoMalangKetegangan di Jalur Gaza kembali meningkat. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyerukan kepada warga Palestina agar meninggalkan wilayah tersebut seiring persiapan serangan militer baru. Seruan ini disampaikan saat situasi di lapangan semakin memanas, dengan pergerakan pasukan Israel yang disebut akan melaksanakan operasi berskala besar dalam waktu dekat.

Dalam pernyataannya, Netanyahu menegaskan bahwa langkah ini dimaksudkan agar warga sipil dapat menghindari risiko di zona pertempuran. “Beri mereka kesempatan untuk meninggalkan, pertama-tama, zona pertempuran, dan secara umum meninggalkan wilayah tersebut, jika mereka mau,” ujarnya. Ia juga membandingkan situasi ini dengan arus pengungsi besar-besaran di Suriah, Ukraina, dan Afghanistan.

Baca Juga:Momen Lucu Pria Muslim Indonesia di Tunisia Diajari Al-Fatihah dan Kalimat Syahadat

Kendala Keluar dari Gaza

Meskipun ada seruan tersebut, kenyataannya akses keluar-masuk Jalur Gaza sangat terbatas. Israel selama bertahun-tahun mengontrol ketat perbatasan dan membatasi pergerakan penduduknya. Banyak pihak menilai seruan Netanyahu sulit diwujudkan jika tidak diiringi dengan kebijakan nyata untuk membuka jalur evakuasi yang aman.

Bagi warga Palestina, ajakan meninggalkan tanah mereka memunculkan kembali ingatan akan peristiwa “Nakba” pada 1948, ketika ratusan ribu orang terpaksa mengungsi akibat konflik yang melahirkan negara Israel. Trauma sejarah ini membuat sebagian besar warga memandang skeptis tawaran “kepergian sukarela” tersebut.

Dukungan dan Kontroversi

Netanyahu diketahui mendukung usulan yang pernah digagas Donald Trump awal tahun ini untuk memindahkan lebih dari dua juta penduduk Gaza ke Mesir dan Yordania. Sejumlah menteri sayap kanan Israel bahkan secara terbuka menyerukan agar warga Palestina meninggalkan Gaza secara sukarela. Rencana ini menuai kritik keras dari berbagai kalangan internasional, termasuk lembaga hak asasi manusia, yang menilai langkah tersebut berpotensi menciptakan krisis pengungsian baru.

Beberapa pengamat mengingatkan bahwa tanpa jaminan keamanan, bantuan kemanusiaan, dan persetujuan bebas dari warga terdampak, kebijakan seperti ini dapat dianggap sebagai bentuk pemindahan paksa yang melanggar hukum internasional. Organisasi HAM juga menekankan bahwa setiap proses evakuasi harus benar-benar sukarela dan sesuai prinsip perlindungan warga sipil.

Persiapan Serangan Militer

Pada 11 Agustus 2025, Netanyahu mengumumkan bahwa serangan militer baru ke Jalur Gaza akan segera dimulai. Rapat kabinet keamanan Israel menyetujui langkah strategis yang bertujuan mengambil alih sisa wilayah yang masih menjadi benteng pertahanan Hamas. Meskipun mendapat banyak kritik, Netanyahu menegaskan tekadnya untuk menyelesaikan operasi ini dengan cepat.

Sehari sebelumnya, pada 10 Agustus, ia menyampaikan bahwa dirinya tidak memiliki pilihan selain “menyelesaikan pekerjaan” dan mengalahkan Hamas demi membebaskan para sandera yang ditahan sejak serangan ke wilayah Israel. Kantor Netanyahu juga menyebut bahwa ia telah berbicara dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk membahas rencana menguasai benteng terakhir Hamas di Gaza. Namun, belum ada rincian lebih lanjut terkait isi pembicaraan tersebut.

Reaksi Internasional

Sejumlah negara dan organisasi internasional menyuarakan keprihatinan atas rencana ini. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak agar setiap operasi militer mematuhi hukum humaniter internasional dan mengutamakan keselamatan warga sipil. Negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania belum memberikan pernyataan resmi, namun diperkirakan memantau ketat perkembangan situasi ini.

Bagi komunitas internasional, prioritas utama saat ini adalah mencegah bertambahnya korban sipil dan menghindari gelombang pengungsian besar-besaran. Sementara itu, bantuan kemanusiaan terus terhambat akibat blokade yang membatasi pasokan makanan, obat-obatan, dan kebutuhan pokok lainnya ke Gaza.

Tantangan di Lapangan

Meski Netanyahu mengatakan akan mengizinkan warga Gaza keluar, prosesnya masih menjadi tanda tanya besar. Tanpa jalur aman dan jaminan perlindungan, perpindahan massal sulit terlaksana. Mesir, sebagai salah satu pintu keluar utama, memiliki kebijakan ketat terhadap pengungsi, mengingat beban ekonomi dan keamanan yang akan timbul jika menerima gelombang kedatangan baru.

Di sisi lain, Hamas menyatakan bahwa mereka tidak akan mundur meski menghadapi tekanan militer Israel. Hal ini meningkatkan risiko terjadinya pertempuran jarak dekat di area padat penduduk, yang biasanya berujung pada korban sipil dalam jumlah besar.

Krisis Kemanusiaan yang Memburuk

Ancaman serangan membuat ribuan keluarga di Gaza mencari cara untuk mengamankan diri. Namun, sebagian besar tidak memiliki pilihan selain bertahan di rumah atau berlindung di fasilitas umum yang kondisinya sering kali tidak aman. Organisasi kemanusiaan memperingatkan bahwa jika operasi militer dimulai tanpa evakuasi yang efektif, jumlah korban sipil berpotensi meningkat tajam.

Kekurangan listrik, air bersih, dan makanan memperburuk keadaan. Anak-anak, perempuan, dan lansia menjadi kelompok yang paling rentan. Situasi ini menambah panjang daftar tantangan yang dihadapi warga Gaza di tengah konflik berkepanjangan.

Baca Juga:Kurir Keluhkan Pembeli yang Check Out Satu Bungkus Roti