InfoMalang – Laut China Selatan kembali menjadi sorotan dunia setelah militer China mengumumkan bahwa mereka memantau sekaligus mengusir sebuah kapal perusak milik Angkatan Laut Amerika Serikat, USS Higgins. Kapal tersebut disebut berlayar di dekat Scarborough Shoal tanpa izin resmi dari Beijing.
Insiden yang terjadi pada Rabu (18/6/2025) ini menarik perhatian karena menjadi operasi militer pertama Amerika Serikat di perairan itu yang diketahui publik dalam kurun setidaknya enam tahun terakhir. Kejadian tersebut berlangsung hanya sehari setelah Filipina—sekutu utama AS—menuduh kapal-kapal China melakukan manuver berbahaya terhadap kapal Manila yang sedang menjalankan misi pasokan ulang untuk nelayan di wilayah yang dipersengketakan.
Baca Juga:Jaringan Sindikat China Mengguncang Industri Tambang Ilegal Global 2025
Pernyataan Militer China
Komando Zona Selatan Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) menyatakan bahwa USS Higgins memasuki perairan Scarborough Shoal tanpa persetujuan pemerintah China. Menurut Beijing, langkah ini melanggar kedaulatan dan keamanan nasional mereka, serta berpotensi mengganggu stabilitas kawasan.
“Langkah AS ini merupakan pelanggaran serius terhadap kedaulatan China dan mengancam perdamaian di Laut China Selatan,” demikian pernyataan resmi PLA yang dilansir oleh media pemerintah China. Militer China menegaskan bahwa pasukannya selalu berada dalam kondisi siaga tinggi untuk merespons segala bentuk pelanggaran.
Respons dari Pihak AS
Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari Komando Indo-Pasifik Amerika Serikat maupun Kedutaan Besar AS di Beijing terkait tuduhan tersebut. Namun, Washington secara konsisten menegaskan bahwa kehadiran kapal perangnya di kawasan itu merupakan bagian dari operasi kebebasan navigasi (Freedom of Navigation Operations atau FONOPs).
AS berpendapat bahwa jalur perairan strategis seperti Laut China Selatan harus tetap terbuka bagi semua negara sesuai dengan hukum laut internasional, dan menolak pembatasan perlintasan yang diterapkan oleh Beijing maupun pihak lain yang mengklaim wilayah tersebut.
Scarborough Shoal: Titik Panas Sengketa
Scarborough Shoal adalah atol yang menjadi sumber ketegangan berkepanjangan. Lokasinya strategis karena berada di jalur perdagangan internasional dengan nilai lebih dari US$ 3 triliun per tahun. China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan berdasarkan peta sejarah “nine-dash line”, sementara Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, Taiwan, dan Indonesia juga memiliki klaim tumpang tindih.
Pada tahun 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag memutuskan bahwa klaim historis Beijing tidak memiliki dasar hukum internasional. Namun, China menolak mengakui putusan tersebut dan tetap memperkuat kehadirannya di wilayah itu.
Insiden Kapal China dan Filipina
Sehari sebelum insiden dengan USS Higgins, terjadi peristiwa mengejutkan di perairan Scarborough Shoal. Dua kapal China—satu milik Angkatan Laut dan satu kapal Penjaga Pantai—terlibat tabrakan saat mengejar kapal Filipina yang tengah menjalankan misi logistik untuk nelayannya.
Pihak Penjaga Pantai China menyebut bahwa mereka telah mengambil “langkah-langkah yang diperlukan” untuk menghalau kapal Filipina keluar dari perairan yang diklaim Beijing. Sementara otoritas Manila mengecam tindakan tersebut sebagai gangguan ilegal yang membahayakan keselamatan pelaut mereka.
Dimensi Strategis Laut China Selatan
Laut China Selatan bukan hanya jalur perdagangan vital, tetapi juga kawasan yang kaya sumber daya alam, termasuk perikanan melimpah dan potensi cadangan minyak serta gas. Kontrol terhadap perairan ini berarti kontrol atas salah satu koridor perdagangan dan energi terbesar di dunia.
Amerika Serikat melihat wilayah ini sebagai bagian penting dalam strategi Indo-Pasifiknya, khususnya untuk mengimbangi pengaruh militer dan ekonomi China. Inilah alasan mengapa kapal-kapal perang AS kerap berpatroli di perairan yang dipersengketakan, meski berisiko memicu ketegangan diplomatik maupun militer.
Eskalasi dan Risiko
Para analis keamanan memperingatkan bahwa setiap insiden di Laut China Selatan dapat berpotensi memicu eskalasi yang tidak diinginkan. Dengan meningkatnya frekuensi interaksi antara kapal-kapal militer China, AS, dan negara-negara Asia Tenggara, risiko salah perhitungan (miscalculation) pun semakin tinggi.
Jika komunikasi dan protokol pencegahan benturan tidak dijalankan secara efektif, pertemuan di laut dapat berubah menjadi insiden serius yang melibatkan kekuatan bersenjata.
Sikap Negara-Negara ASEAN
Banyak negara ASEAN yang terlibat langsung dalam sengketa wilayah ini berusaha menyeimbangkan hubungan dengan Beijing dan Washington. Di satu sisi, mereka memerlukan akses ke sumber daya dan jalur perdagangan yang aman. Di sisi lain, mereka tidak ingin terjebak dalam konflik militer antara dua kekuatan besar dunia.
Filipina, misalnya, meningkatkan kerja sama pertahanan dengan AS, namun tetap membuka jalur diplomasi dengan China. Sementara Indonesia menegaskan sikap netral namun aktif menjaga kedaulatan wilayahnya di sekitar Natuna.
Prospek Ke Depan
Insiden USS Higgins menegaskan bahwa Laut China Selatan akan tetap menjadi arena persaingan strategis antara Amerika Serikat dan China. Selama klaim tumpang tindih belum terselesaikan dan kedua pihak mempertahankan operasi militernya, ketegangan akan sulit mereda.
Diplomasi, transparansi operasi militer, dan komitmen pada hukum laut internasional menjadi kunci untuk mencegah konflik terbuka. Namun, melihat dinamika saat ini, perairan tersebut kemungkinan besar akan terus menjadi titik panas geopolitik di kawasan Asia-Pasifik.















