Breaking

Kasus Meme Bahlil Lahadalia Kian Panas, Feri Amsari dan Waketum AMPG Berdebat Soal Delik Agama

infomalang.com/ – Kasus Meme Bahlil terus menjadi sorotan publik setelah munculnya sejumlah akun media sosial yang diduga menyebarkan konten satir terhadap Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia. Meskipun ramai diperbincangkan, Polda Metro Jaya menegaskan bahwa hingga kini belum ada laporan resmi yang diajukan oleh pihak Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG).

Kabid Humas Polda Metro Jaya menyebut, kedatangan perwakilan AMPG ke Direktorat Reserse Siber pada Senin (20/10/2025) lalu hanya sebatas konsultasi hukum. Hal ini berarti Kasus Meme Bahlil belum masuk tahap penyelidikan mendalam.

Namun demikian, isu ini terus berkembang di ruang publik dan memunculkan perdebatan tajam antara kalangan akademisi dan politisi mengenai batas kebebasan berekspresi di media sosial.

Feri Amsari: Jangan Bawa Agama ke Ranah Hukum Digital

Peneliti dari Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, turut menanggapi Kasus Meme Bahlil dalam sebuah diskusi publik yang disiarkan oleh salah satu media nasional. Ia menilai bahwa pelaporan terhadap pembuat meme sebaiknya tidak dibumbui dengan delik agama yang dapat memperkeruh suasana.
Menurut Feri, dalam konteks hukum pidana, satire atau meme politik merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin oleh undang-undang, selama tidak melanggar privasi atau menyebarkan kebencian berbasis SARA.
“Jangan sampai kasus seperti Kasus Meme Bahlil dijadikan alat untuk membatasi kritik publik terhadap pejabat negara. Jika ada yang merasa dirugikan, gunakan jalur hukum yang proporsional tanpa menarik isu agama,” tegas Feri Amsari.

Baca Juga:Puluhan Petani Tembakau Kabupaten Malang Ikuti Pelatihan untuk Dongkrak Kualitas Panen

Waketum AMPG: Kebebasan Berekspresi Harus Tetap Punya Batas

Di sisi lain, Wakil Ketua AMPG, Sedek Bahta, memiliki pandangan berbeda terkait Kasus Meme Bahlil. Ia menilai bahwa setiap bentuk kritik atau satire di media sosial seharusnya tidak menjurus pada penghinaan pribadi yang dapat mencederai kehormatan seseorang.
Sedek menegaskan bahwa AMPG tidak menolak kritik, namun menentang penggunaan bahasa dan visual yang dianggap melecehkan simbol partai atau tokoh politik. “Kami hanya ingin agar publik memahami perbedaan antara kritik dan penghinaan. Dalam Kasus Meme Bahlil, konten yang dibuat sudah menyinggung hal-hal sensitif,” ujarnya.
Ia menambahkan, AMPG saat ini sedang berkonsultasi dengan ahli hukum siber untuk menentukan langkah tepat tanpa menimbulkan kesan mengekang kebebasan berekspresi di dunia digital.

Polisi Tegaskan Belum Ada Laporan Resmi

Pihak kepolisian juga memberikan klarifikasi agar masyarakat tidak salah paham terhadap perkembangan Kasus Meme Bahlil. Kabid Humas Polda Metro Jaya menyatakan bahwa sampai saat ini belum ada laporan resmi yang diterima terkait dugaan penghinaan terhadap Bahlil Lahadalia.
Langkah yang diambil AMPG masih dalam tahap konsultasi hukum untuk memastikan pasal yang relevan sebelum membuat laporan resmi. “Kami menunggu data dan bukti yang cukup agar kasus ini tidak menimbulkan polemik baru,” kata perwakilan kepolisian.
Pernyataan ini memperlihatkan bahwa proses hukum terhadap Kasus Meme Bahlil masih sangat awal dan belum masuk tahap penyidikan formal.

Reaksi Publik dan Dinamika Media Sosial

Publik menilai bahwa Kasus Meme Bahlil menjadi cerminan kompleksitas antara kebebasan berekspresi dan perlindungan reputasi di era digital. Banyak pengguna media sosial menilai bahwa satire politik merupakan hal yang wajar dalam demokrasi.
Namun, sebagian pihak lainnya menilai perlu adanya batasan agar tidak menimbulkan fitnah atau kebencian. Perdebatan ini pun menimbulkan diskusi lebih luas mengenai bagaimana aparat penegak hukum harus bersikap terhadap konten digital yang bersifat politis.
Pengamat komunikasi politik menilai bahwa Kasus Meme Bahlil bisa menjadi momentum untuk memperjelas batas hukum terhadap konten digital yang berpotensi menyinggung pejabat publik.

Analisis Hukum, Delik Agama Jadi Isu Sensitif

Isu delik agama dalam Kasus Meme Bahlil dinilai terlalu berlebihan oleh sejumlah pakar hukum. Mereka menilai bahwa membawa unsur agama dalam konteks satire politik justru bisa memperkeruh situasi sosial dan menimbulkan polarisasi di masyarakat.
Feri Amsari kembali menegaskan, penyelesaian kasus semacam ini sebaiknya berbasis edukasi digital, bukan kriminalisasi. “Kalau setiap kritik dipidanakan dengan alasan agama, maka demokrasi kita mundur,” ujarnya dalam wawancara lanjutan.
Pendapat ini disambut beragam reaksi, namun banyak pihak sepakat bahwa hukum siber di Indonesia perlu pembaruan agar tidak tumpang tindih ketika menghadapi kasus seperti Kasus Meme Bahlil.

Antara Kebebasan dan Etika Digital

Perdebatan antara Feri Amsari dan Sedek Bahta menunjukkan bahwa Kasus Meme Bahlil bukan sekadar persoalan hukum, melainkan juga ujian bagi kedewasaan masyarakat digital Indonesia.
Kedua tokoh memiliki pandangan yang sama-sama penting: kebebasan berekspresi perlu dijaga, namun etika komunikasi di dunia maya juga tidak boleh diabaikan.
Pada akhirnya, penyelesaian Kasus Meme Bahlil akan menjadi tolak ukur seberapa matang bangsa ini dalam menyeimbangkan hak berekspresi dan tanggung jawab moral di ruang digital.

Baca Juga:Pertemuan Pemimpin Indonesia dan Brasil Hasilkan Komitmen Kerja Sama Strategis