Kita sering menyaksikan anak pejabat yang memanfaatkan nama besar orang tuanya untuk meraih kesuksesan. Namun, kisah Soesalit, putra R.A. Kartini, menawarkan perspektif berbeda. Berbeda dengan kebanyakan anak pejabat, Soesalit memilih jalan hidup yang sederhana, menolak memanfaatkan popularitas ibunya untuk meraih keuntungan pribadi.
Kisah Kejatuhan Sang Raja Bisnis: Tragedi Mei 1998!
Soesalit, lahir dari keluarga pejabat—ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Djojonegoro, menjabat sebagai Bupati Rembang—dan ibunya, pahlawan nasional R.A. Kartini, yang namanya harum karena pemikiran visionernya. Meskipun memiliki latar belakang keluarga terhormat dan berhak atas posisi penting, seperti menggantikan ayahnya sebagai bupati, Soesalit menolaknya. Ia memilih jalannya sendiri.

Pada tahun 1943, Soesalit bergabung dengan tentara, dilatih oleh tentara Jepang dan menjadi bagian dari PETA (Pembela Tanah Air). Setelah kemerdekaan, ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat Republik Indonesia (TKR) dan karier militernya terus menanjak. Sitisoemandari Soeroto dalam “Kartini: Sebuah Biografi (1979)” mencatat keterlibatan Soesalit dalam berbagai pertempuran melawan Belanda yang membuatnya cepat naik pangkat. Puncak kariernya tercapai pada 1946 ketika ia diangkat menjadi Panglima Divisi II Diponegoro, memimpin pasukan penting di Yogyakarta. Ia bahkan pernah menjabat sebagai penasehat Menteri Pertahanan.
Ironisnya, sedikit orang yang mengetahui hubungan Soesalit dengan R.A. Kartini. Soesalit secara sengaja merahasiakan hubungan tersebut. Meskipun nama ibunya begitu populer, bahkan diabadikan dalam lagu “Ibu Kita Kartini”, Soesalit tetap teguh pada pendiriannya. Jenderal Nasution, atasan Soesalit, menjadi saksi bisu atas pilihan hidup Soesalit. Nasution menuturkan dalam “Kartini: Sebuah Biografi (1979)” bahwa Soesalit bisa saja hidup lebih nyaman dengan mengungkap hubungannya dengan Kartini, namun ia memilih tetap hidup sederhana sebagai veteran, bahkan menolak hak-haknya sebagai veteran.
Soesalit meninggal pada 17 Maret 1962, tetap memegang teguh prinsipnya hingga akhir hayat. Kisahnya menjadi inspirasi bagi kita semua, menunjukkan bahwa kesuksesan sejati tidak selalu diukur dari harta benda, tetapi juga dari integritas dan prinsip yang dipegang teguh. Ia membuktikan bahwa nama besar orang tua bukanlah jaminan kesuksesan, dan bahwa jalan hidup yang sederhana, dijalani dengan integritas, jauh lebih berharga.















