Istri Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UMKM) Republik Indonesia, Agustina Hastarini atau Tina Astari, tengah menjadi perhatian publik setelah sebuah surat resmi Kementerian UMKM beredar luas di media sosial.
Surat tersebut berisi permohonan fasilitas dan dukungan diplomatik untuk mendampingi perjalanan Agustina ke sejumlah negara di Eropa dalam rangka kegiatan bertajuk “Misi Budaya”.
Surat dengan kop resmi Kementerian UMKM tertanggal 30 Juni 2025 itu ditujukan kepada perwakilan Indonesia di berbagai negara Eropa, mencakup KBRI Sofia, Brussel, Paris, Bern, Roma, Den Haag, serta Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Istanbul.
Dalam surat tersebut disebutkan bahwa kunjungan akan berlangsung selama 14 hari, dari 30 Juni hingga 14 Juli 2025, dan mencakup beberapa kota seperti Istanbul, Pomorie, Sofia, Amsterdam, Brussels, Paris, Lucerne, dan Milan.
Permintaan dalam surat itu menyebutkan perlunya pendampingan dan dukungan dari pihak perwakilan RI kepada istri Menteri beserta rombongan selama menjalankan agenda kunjungan budaya tersebut.
Keberadaan surat ini kemudian menimbulkan kontroversi karena Agustina Hastarini bukan merupakan pejabat negara atau aparatur sipil negara, melainkan istri seorang menteri yang secara hukum tidak memiliki kewenangan untuk menggunakan fasilitas negara dalam kegiatan pribadi.
Surat tersebut dengan cepat viral di media sosial dan menuai berbagai reaksi dari warganet. Banyak pihak mempertanyakan apakah layak seorang istri pejabat menggunakan fasilitas diplomatik dalam rangka kegiatan yang tidak dijelaskan secara rinci urgensinya.
Bahkan, beberapa suara menyebut bahwa kegiatan tersebut menyerupai liburan pribadi yang menggunakan dalih “misi budaya”.
Menanggapi hal tersebut, Menteri UMKM Maman Abdurrahman akhirnya angkat bicara. Ia membantah tuduhan bahwa istrinya meminta fasilitas negara untuk keperluan pribadi.
Menurutnya, tudingan tersebut tidak berdasar dan mengarah pada fitnah yang mencemarkan nama baik dirinya maupun keluarga. Ia menyatakan akan segera menggelar konferensi pers untuk memberikan penjelasan resmi kepada publik.
Namun demikian, sampai saat ini belum ada klarifikasi detail mengenai pendanaan kegiatan, urgensi agenda yang dijalankan, maupun status keikutsertaan Agustina dalam kapasitas apa.
Hal ini membuat polemik terus berlanjut, terutama karena penggunaan sumber daya diplomatik seperti dukungan dan pendampingan dari KBRI dan KJRI biasanya diberikan untuk pejabat negara atau dalam misi resmi pemerintahan.
Baca Juga: Miris, Anak perempuan Disabilitas di Malang Jadi Korban Kekerasan Seksual Ayah Tiri
Profil Agustina Hastarini atau Tina Astari sendiri cukup dikenal. Ia merupakan mantan publik figur yang kini aktif sebagai pelaku usaha. Agustina dikenal sebagai pendiri brand kecantikan dan kesehatan lokal yang berkembang di kalangan milenial.
Selain itu, ia juga menjabat sebagai penasihat Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kementerian UMKM, posisi non-struktural yang biasanya diberikan kepada istri pejabat untuk mendukung kegiatan sosial kementerian.
Selama ini, Agustina kerap tampil dalam berbagai agenda bersama sang suami dan beberapa kali memberikan paparan dalam forum diskusi yang digelar oleh Kementerian UMKM.
Namun keterlibatannya dalam kunjungan luar negeri yang bersifat resmi dengan permohonan dukungan diplomatik memicu perdebatan karena posisi tersebut tidak serta-merta memberinya wewenang untuk mewakili negara dalam kunjungan bilateral ataupun kegiatan budaya luar negeri.
Lebih lanjut, kegiatan bertajuk “Misi Budaya” yang menjadi dasar permintaan fasilitasi pun belum dijelaskan secara konkret kepada publik. Tidak diketahui apakah kegiatan tersebut berbentuk pameran budaya, pertunjukan seni, promosi UMKM, atau sekadar kunjungan non-formal.
Ketidakjelasan tersebut turut memperbesar kecurigaan publik bahwa kegiatan ini hanya menjadi tameng formal untuk pembiayaan perjalanan pribadi.
Penggunaan surat resmi dari kementerian untuk kepentingan non-formal atau tidak terkait tugas negara dinilai sejumlah pihak sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip efisiensi anggaran dan penyalahgunaan kewenangan.
Meskipun surat tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa semua biaya ditanggung negara, permintaan dukungan dari perwakilan diplomatik negara jelas menunjukkan penggunaan sumber daya institusional.
Selain soal hukum dan etika penggunaan fasilitas negara, kasus ini juga memunculkan kembali wacana pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam birokrasi, khususnya dalam pengeluaran yang melibatkan keluarga pejabat publik.
Masyarakat menginginkan agar tidak ada ruang abu-abu dalam penggunaan anggaran, baik itu anggaran kementerian maupun fasilitas kedutaan besar dan konsulat.
Jika terbukti bahwa kegiatan tersebut tidak termasuk dalam ranah tugas resmi kementerian, maka permintaan fasilitasi semacam ini berpotensi melanggar regulasi perjalanan dinas luar negeri.
Aturan yang berlaku secara umum menyatakan bahwa fasilitas negara, baik dalam bentuk pendanaan maupun dukungan logistik, hanya dapat diberikan kepada ASN atau pejabat negara yang menjalankan tugas resmi.
Polemik ini seharusnya menjadi refleksi bagi kementerian lain agar lebih berhati-hati dalam mengeluarkan surat atau permohonan resmi, terutama bila menyangkut keluarga pejabat.
Transparansi dan integritas birokrasi menjadi kunci utama menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintah, terlebih di era digital ketika segala informasi dengan mudah tersebar dan disorot masyarakat.
Masyarakat kini menunggu pernyataan resmi dan langkah korektif dari pihak Kementerian UMKM, apakah akan menarik surat tersebut, menjelaskan kegiatan secara terbuka, atau memastikan bahwa pembiayaan kegiatan tidak berasal dari anggaran negara.
Harapan publik sederhana: agar pejabat dan keluarganya menjunjung tinggi etika, menghindari konflik kepentingan, dan senantiasa mengutamakan kepentingan rakyat.
Baca Juga: Serorang Pria Di Malang Bakar Kakak Kandung karena Warisan, Terancam Hukuman Mati















