Breaking

Pedagang Kaki Lima Protes Jadwal Street Race Kanjuruhan karena Rugikan Usaha

Pedagang Kaki Lima Protes Jadwal Street Race Kanjuruhan karena Rugikan Usaha
Pedagang Kaki Lima Protes Jadwal Street Race Kanjuruhan karena Rugikan Usaha

InfomalangSebuah gesekan kepentingan kembali terjadi di kawasan vital Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang.

Ratusan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang selama bertahun-tahun menggantungkan hidupnya di area tersebut secara tegas menyuarakan keberatan mereka terhadap rencana penyelenggaraan Kanjuruhan Street Race (KSR) yang dijadwalkan berlangsung pada Sabtu, 18 Oktober 2025.

Mereka menilai, keputusan sepihak untuk memindahkan jadwal kegiatan balap motor tersebut dari kesepakatan awal pada hari Jumat ke hari Sabtu telah berulang kali merugikan usaha mereka dengan signifikan menurunkan omzet di waktu yang seharusnya menjadi puncak pendapatan.

Protes keras dari para pedagang kaki lima ini diungkapkan melalui forum mediasi yang digelar pada Kamis (16/10/2025), melibatkan pihak penyelenggara KSR, perwakilan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang, dan aparat kepolisian setempat.

Mediasi ini menjadi arena bagi PKL untuk menagih komitmen Pemkab terhadap kelangsungan usaha mikro di sekitar stadion.

Ancaman Nyata Terhadap Omzet Akhir Pekan Pedagang Kaki Lima

Didit Praponco, perwakilan Paguyuban PKL Stadion Kanjuruhan, menjadi suara utama yang menyuarakan kekecewaan pedagang.

Ia menyebut, perubahan jadwal KSR dari hari Jumat—yang merupakan hari yang disepakati bersama—menjadi Sabtu telah terjadi berulang kali tanpa adanya sosialisasi dan solusi yang adil.

“Kalau besok jadi dilaksanakan hari Sabtu, itu sudah ketiga kalinya terjadi. Dampaknya sangat besar, bahkan kami bisa bilang fatal, bagi kami. Kenapa? Karena Sabtu adalah hari paling ramai untuk jualan kami. Ini adalah waktu di mana kami bisa menutup penjualan selama seminggu penuh,” ujar Didit dengan nada kecewa usai audiensi.

Aktivitas balapan di hari Sabtu, yang merupakan puncak keramaian pengunjung, secara langsung membatasi ruang gerak usaha mereka.

Para pedagang kaki lima terpaksa menghadapi pilihan sulit, menutup lapak karena lokasi mereka digunakan sebagai lintasan balapan atau area steril, atau mencoba pindah ke lokasi yang diizinkan tetapi dengan risiko kerugian omzet yang besar.

“Kalau ada balapan, kami tidak bisa jualan. Meskipun diizinkan pindah ke area timur atau barat stadion, tetap saja sepi. Pembeli enggan datang karena merasa tidak nyaman, terganggu suara bising, dan akses yang sulit,” jelas Didit.

Ia menambahkan bahwa sebagian besar pengunjung yang datang ke Kanjuruhan di akhir pekan adalah keluarga yang mencari suasana santai, yang tentu akan terganggu oleh suara bising motor balap. Hal ini menyebabkan perputaran ekonomi lokal di akhir pekan menurun drastis.

Sebagai gambaran kerugian yang dialami, Didit mencontohkan pedagang kaki lima pakaian, khususnya yang menjual merchandise seperti jersei Arema. “Hari Senin sampai Jumat paling laku satu atau dua potong. Tapi, kalau hari Sabtu, kami bisa menjual hingga 20 kali lipat lebih banyak. Dengan adanya balapan di hari Sabtu, peluang besar itu hilang total,” katanya.

Baca Juga: DBHCHT 2025 Dorong Pelatihan Giling Rokok di Malang

Kesetiaan PKL dan Tuntutan Kebijaksanaan Pemerintah

Paguyuban PKL Stadion Kanjuruhan mencatat sedikitnya 150 pedagang aktif yang bergantung hidupnya dari usaha di kawasan tersebut. Dari jumlah itu, hampir seluruhnya mengalami penurunan pendapatan yang signifikan sejak perubahan jadwal balapan diberlakukan secara sepihak.

Dalam pertemuan mediasi, Didit juga menyoroti peran strategis para pedagang kaki lima yang tetap setia bertahan berjualan meski perekonomian di kawasan stadion sempat terpuruk parah pasca Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022.

“Kami tetap setia di sini, kami ikut memeriahkan kegiatan, karnaval, dan acara komunitas. Kami adalah bagian dari ekosistem Kanjuruhan. Tapi kalau sekarang malah dibatasi karena event balapan, kami merasa kurang dihargai dan dipertimbangkan dampaknya,” ungkapnya.

Para pedagang kaki lima mendesak agar pemerintah daerah, melalui Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kabupaten Malang, dan panitia penyelenggara dapat mengembalikan kesepakatan awal yang menetapkan Jumat sebagai hari pelaksanaan KSR.

Mereka menilai, solusi ini adalah langkah yang paling adil dan paling bisa diterima agar kegiatan olahraga dan aktivitas ekonomi rakyat bisa berjalan berdampingan.

“Kami hanya minta kebijaksanaan supaya tidak kehilangan penghasilan. Kalau hanya latihan balapan, bisa dimajukan ke Jumat atau diundur ke Senin. Kami tidak menolak balapan, hanya menolak hari pelaksanaannya,” tegas Didit.

Solusi Jangka Panjang dan Harapan Mediasi

Para PKL berharap mediasi yang telah dilakukan dapat menghasilkan keputusan yang benar-benar berpihak kepada masyarakat kecil.

Mereka meminta agar Pemkab Malang mempertimbangkan aspirasi pedagang sebagai salah satu tulang punggung perekonomian daerah.

Didit menutup pernyataan dengan menegaskan pentingnya sinergi: “Kami tidak ingin melarang kegiatan balapan, kami hanya ingin waktu pelaksanaannya diatur ulang agar tidak mengorbankan penghidupan kami. Kami berharap Pemkab memberikan solusi yang solutif dan berkelanjutan.”

Kasus ini menjadi cermin bagi Pemkab Malang untuk meninjau ulang kebijakan terkait penggunaan aset publik, khususnya di akhir pekan, agar tidak merugikan pelaku ekonomi mikro.

Keberlangsungan usaha mikro di sekitar Stadion Kanjuruhan adalah bagian penting dari roda perekonomian daerah yang harus dijaga. Tanpa adanya kebijakan yang bijak dan adil, konflik antara event sportainment dan ekonomi kerakyatan akan terus berulang.

PKL Kanjuruhan kini menanti keputusan final yang dijanjikan Pemkab Malang setelah audiensi.

Baca Juga: Stasiun Malang Jadi Pusat Mobilitas Utama, 1,6 Juta Pelanggan Dilayani Sepanjang 2025