infomalang.com/ – Sejumlah pedagang dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Dusun Tambaksari, Desa Jatisari, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, masih menunggu kepastian terkait izin pendirian sebuah minimarket waralaba. Hingga pertengahan September 2025, proses mediasi yang diharapkan menjadi solusi justru berulang kali mengalami penundaan.
Keterlambatan ini menimbulkan keresahan dan kekhawatiran yang mendalam di kalangan pedagang UMKM, karena nasib usaha mereka kini berada di ujung tanduk. Mereka merasa bahwa keadilan ekonomi lokal terancam oleh masuknya bisnis skala besar yang tidak transparan.
Keresahan ini bermula dari adanya pembangunan minimarket waralaba yang tiba-tiba muncul di tengah lingkungan yang didominasi oleh warung-warung kecil. Para pedagang menilai keterlambatan mediasi ini membuat nasib usaha mereka semakin tidak menentu.
“Kami sudah berbulan-bulan menunggu. Setiap kali dijanjikan mediasi, selalu ada alasan untuk menunda. Kami khawatir begitu minimarket itu buka, usaha kami langsung mati,” keluh Sarji, salah satu perwakilan pedagang UMKM setempat.
Ia menambahkan bahwa warung-warung kecil ini telah menjadi tumpuan hidup puluhan keluarga di Dusun Tambaksari.
Mediasi yang Dijadwalkan Kembali Molor
Sebelumnya, agenda mediasi dijadwalkan berlangsung pada Selasa, 16 September 2025, dengan menghadirkan pihak Pemerintah Desa Jatisari serta manajemen minimarket. Namun, hingga malam hari, pertemuan tersebut urung digelar.
Para pedagang pun kembali diminta menunggu kepastian pada hari berikutnya, tanpa kejelasan kapan pastinya mediasi akan berlangsung.
Sarji mengaku sangat kecewa karena hingga kini belum ada kejelasan mengenai agenda tersebut. Menurutnya, penundaan yang berulang menimbulkan keresahan dan ketidakpastian di kalangan pedagang kecil.
“Kami ini cuma rakyat kecil. Kami cuma minta kejelasan. Kenapa kok sulit sekali?” ujarnya dengan nada putus asa.
Kekecewaan ini bukan tanpa alasan. Para pedagang merasa dipermainkan dan tidak dianggap serius oleh pihak-pihak terkait, baik dari manajemen minimarket maupun pemerintah desa.
Tuntutan Pedagang soal Transparansi Perizinan
Para pedagang mendesak agar pemerintah desa bersama pihak manajemen minimarket memberikan kejelasan mengenai status perizinan. Mereka menilai bahwa izin pembangunan minimarket tidak pernah disosialisasikan kepada warga, apalagi mendapatkan persetujuan dari mayoritas pedagang sekitar.
Hal ini menjadi sorotan karena warga merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan ekonomi lokal mereka.
“Kami tidak tahu menahu soal izinnya. Tahu-tahu sudah ada bangunan berdiri. Ini kan aneh. Seharusnya ada musyawarah dulu dengan warga, terutama kami pedagang UMKM,” kata seorang pedagang lain yang enggan disebutkan namanya.
Mereka menilai pembangunan minimarket berpotensi menggerus pasar tradisional dan merugikan pelaku UMKM.
Dengan modal besar, jaringan distribusi yang lebih kuat, dan harga produk yang lebih kompetitif, minimarket waralaba dianggap sebagai ancaman serius bagi kelangsungan warung-warung kecil.
Baca Juga: Tingkat Hunian Hotel Kota Batu Anjlok 50 Persen
Pihak Desa Dinilai Kurang Kooperatif
Selain menyoroti pihak manajemen minimarket, pedagang juga menilai pemerintah desa kurang responsif dalam menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
Saat pedagang mendatangi kantor desa pada 10 September 2025, kepala desa setempat bahkan tidak hadir untuk menemui mereka. Mereka hanya ditemui oleh Sekretaris Desa Jatisari, Hadi As’ad.
Hadi As’ad menyampaikan bahwa pihaknya hanya bisa menampung aspirasi warga dan meneruskan kepada kepala desa.
Namun, keputusan akhir sepenuhnya tetap berada di tangan kepala desa. Pernyataan ini menambah rasa kecewa pedagang yang berharap adanya langkah konkret dari pemerintah desa.
“Kami datang ke kantor desa berharap ada solusi, bukan hanya janji. Kalau cuma menampung aspirasi, kami juga bisa. Kami butuh tindakan,” ujar Sarji. Ketiadaan sikap tegas dari pemerintah desa ini membuat para pedagang merasa tidak terwakili dan terabaikan.
Kekhawatiran Dampak Ekonomi Lokal dan Harapan Pedagang
Keberadaan minimarket waralaba di daerah pedesaan memang seringkali menimbulkan pro dan kontra. Bagi sebagian pihak, minimarket dianggap memberikan kemudahan akses barang kebutuhan, terutama bagi warga yang tinggal jauh dari pusat perbelanjaan.
Namun bagi pelaku UMKM, keberadaan toko modern justru berpotensi mematikan usaha kecil yang selama ini menjadi tumpuan hidup masyarakat.
Di Tambaksari, pedagang mengkhawatirkan penurunan omset secara drastis apabila minimarket tersebut beroperasi. Dengan jaringan distribusi yang lebih kuat dan modal besar, harga produk di minimarket biasanya lebih bersaing dibanding warung tradisional.
“Kami tidak bisa bersaing harga. Kami cuma bisa bersaing dengan pelayanan. Kalau mereka buka, siapa yang mau beli ke kami?” tanya seorang pedagang warung.
Kekhawatiran ini sangat beralasan, mengingat banyak warung kecil yang gulung tikar setelah minimarket waralaba berdiri di dekat mereka.
Meski mediasi berkali-kali mengalami penundaan, pedagang UMKM masih berharap pertemuan dengan pihak terkait bisa segera dilaksanakan. Mereka menginginkan adanya transparansi, kejelasan izin, serta perlindungan bagi usaha kecil agar tidak semakin terpinggirkan.
Sarji menegaskan bahwa para pedagang akan terus mengawal proses ini hingga mendapatkan kepastian. Mereka juga berharap pemerintah daerah hingga tingkat kabupaten ikut turun tangan agar polemik ini segera menemukan solusi yang adil.
Kasus di Dusun Tambaksari menjadi gambaran nyata bagaimana pembangunan minimarket waralaba dapat menimbulkan polemik di masyarakat, khususnya bagi pelaku UMKM.
Keterlambatan mediasi hanya memperpanjang ketidakpastian, sementara pedagang kecil terus menunggu kejelasan. Jika proses ini terus molor, bukan hanya izin yang dipertanyakan, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa dalam melindungi ekonomi lokal.
Harapan terbesar para pedagang UMKM sederhana: adanya kejelasan izin yang transparan serta langkah nyata untuk menjaga keseimbangan antara modernisasi dan keberlangsungan usaha kecil.
Pemerintah daerah diharapkan dapat bertindak sebagai mediator yang adil dan proaktif, memastikan bahwa pembangunan tidak merugikan pihak manapun.















