Suaramedia.id – Siapa sangka, pusat perbelanjaan pertama di Indonesia, Sarinah, menyimpan kisah unik dan menarik yang jarang diketahui publik. Bukan sekadar tempat belanja, Sarinah menyimpan ambisi besar Presiden Soekarno yang ingin membangunnya sebagai simbol kemajuan Indonesia, namun dengan filosofi ekonomi yang jauh berbeda dari mal-mal modern saat ini.
Di era 1960-an, di tengah inflasi tinggi dan proyek-proyek ambisius lainnya seperti Hotel Indonesia dan Gelora Bung Karno, Soekarno menginisiasi pembangunan Sarinah. Bukan semata-mata untuk pamer kemewahan, tetapi sebagai solusi atas kesulitan pangan dan sandang rakyat. Infomalang.com mengutip buku "Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik" (2006) karya Rosihan Anwar, yang menjelaskan bahwa Soekarno menginginkan Sarinah sebagai representasi ekonomi sosialis, bukan kapitalis.

Soekarno bertekad agar Sarinah menjadi tempat promosi produk dalam negeri, khususnya hasil pertanian dan industri, dengan harga yang terjangkau. Beliau bahkan memberikan contoh, seperti yang dicatat R. Soeharto dalam "Saksi Sejarah" (1984), bahwa harga barang di Sarinah yang murah akan mempengaruhi harga di pasaran. "Kalau di department store harganya cuma Rp50, di luar department store, orang tidak berani menjual Rp100," kata Soekarno.
Dibangun pada 17 Agustus 1962 dan diresmikan empat tahun kemudian, Sarinah menjadi pusat perbelanjaan pertama di Asia Tenggara yang dilengkapi dengan pendingin udara dan eskalator. Dana pembangunannya berasal dari uang rampasan perang Jepang, dengan kontraktor dari Jepang dan arsitek dari Denmark. Soekarno sendiri bertindak sebagai Presiden Direktur PT Sarinah, mengawasi langsung pembangunannya.
Pada masa awal operasinya, Sarinah memang menjadi etalase produk Indonesia dengan harga murah sesuai cita-cita Soekarno. Namun, setelah Soekarno lengser pada 1967, orientasi ekonomi Indonesia berubah, dan Sarinah pun tak lagi menjual barang-barang dengan harga murah. Kini, dengan keberadaan 96 mal di Jakarta, cita-cita Soekarno untuk menjadikan mal sebagai pusat barang murah seakan menjadi kenangan sejarah. Kisah Sarinah menjadi bukti bagaimana ideologi politik dapat membentuk wajah ekonomi suatu negara.