Breaking

Serikat Sopir Angdes di Malang Pesimistis Hadapi Rencana Pengoperasian Trans Jatim

InfoMalang – Rencana pengoperasian bus Trans Jatim di wilayah Malang menimbulkan keresahan di kalangan pengemudi angkutan pedesaan (angdes). Serikat Sopir Angdes di Malang menilai langkah ini berpotensi mengancam mata pencaharian mereka yang telah puluhan tahun menggantungkan hidup di jalur transportasi tradisional.

Wakil Ketua DPD Serikat Sopir Indonesia (SSI) Jawa Timur, Jarwo Sutikno, menegaskan bahwa wacana melibatkan sopir angdes sebagai pengemudi Trans Jatim tidak serta-merta menjadi solusi. Menurutnya, ada sejumlah syarat yang justru menambah beban, terutama soal usia.

“Mayoritas anggota Serikat Sopir Angdes di Malang sudah berumur di atas 40 tahun. Dengan kondisi itu, banyak yang pesimistis bisa memenuhi syarat kualifikasi umur untuk menjadi sopir Trans Jatim,” jelas Jarwo.

Baca Juga:Rencong Batu, Simbol Budaya Aceh Selatan yang Bernilai Ekonomi Tinggi

Persyaratan Umur dan Surat Kendara

Jarwo menambahkan, selain usia, masalah lain yang mengganjal adalah kelengkapan surat berkendara. Tidak semua pengemudi angdes memiliki SIM B1 umum atau SIM B2 umum. Padahal, syarat tersebut biasanya diberlakukan pada angkutan milik pemerintah di berbagai daerah.

Hal ini membuat Serikat Sopir Angdes di Malang merasa tersisih sejak awal. Banyak sopir yang sudah berpengalaman di jalan raya, namun terhambat oleh aturan administratif yang dianggap terlalu berat.

“Kalau hanya beberapa orang yang bisa memenuhi syarat, lalu bagaimana dengan ratusan sopir lain yang tidak terakomodasi?” tanya Jarwo.

Jumlah Sopir Tak Seimbang dengan Armada

Dalam satu jalur angdes, rata-rata terdapat 150 sopir. Sementara itu, jumlah armada Trans Jatim yang direncanakan beroperasi di Malang hanya sekitar 14 unit. Dengan hitungan sederhana, setiap armada membutuhkan tiga sopir bergantian. Total hanya ada 42 sopir yang bisa tertampung.

Kondisi ini membuat Serikat Sopir Angdes di Malang semakin khawatir. Jika satu jalur saja menyisakan lebih dari seratus sopir, maka kelebihan tenaga kerja akan menciptakan masalah sosial baru.

Jarwo menegaskan bahwa para sopir butuh kepastian. Mereka tidak bisa hanya mengandalkan janji keterlibatan tanpa skema jelas.

Potensi Alih Fungsi Menjadi Feeder

Pemerintah daerah sempat menggulirkan ide agar angdes dialihkan menjadi feeder Trans Jatim. Namun, rencana tersebut menimbulkan pertanyaan baru. Bagaimana pengaturan jalur agar tidak bertumpuk? Apakah benar-benar menguntungkan bagi sopir?

Serikat Sopir Angdes di Malang menganggap wacana itu masih terlalu kabur. Tanpa detail teknis, justru menambah ketidakpastian di kalangan pengemudi. Sopir khawatir hanya akan menjadi pelengkap tanpa penghasilan layak.

“Lebih bijaksana kalau pembahasan dilakukan bersama, supaya ada titik temu yang adil,” tegas Jarwo.

Kekhawatiran Kehilangan Mata Pencaharian

Rata-rata anggota Serikat Sopir Angdes di Malang sudah puluhan tahun mengemudi di jalur pedesaan. Mereka mengandalkan setoran harian untuk menghidupi keluarga. Dengan hadirnya Trans Jatim, mereka cemas jumlah penumpang angdes akan menurun drastis.

Selain itu, daya tarik Trans Jatim sebagai transportasi modern dan terjangkau bisa membuat penumpang beralih. Jika kondisi ini terjadi, pendapatan sopir angdes terancam hilang.

“Yang kami takutkan, bukan hanya soal syarat kerja di Trans Jatim, tapi juga keberlangsungan hidup sopir yang tersisa,” kata Jarwo.

Komunikasi dengan Dishub Diharapkan Segera

Untuk mengurangi keresahan, Serikat Sopir Angdes di Malang berharap ada dialog terbuka dengan Dinas Perhubungan (Dishub). Menurut mereka, pemerintah seharusnya mendengarkan suara lapangan sebelum mengambil kebijakan yang berdampak besar.

Jarwo menilai komunikasi dua arah bisa mencegah gejolak sosial. Apalagi, sopir angdes merupakan bagian penting dari sistem transportasi daerah.

“Kalau memang ada solusi, harus disampaikan secara terbuka. Jangan sampai keputusan sepihak membuat sopir kehilangan harapan,” ungkapnya.

Kebutuhan Kepastian Skema Transisi

Serikat Sopir Angdes di Malang menekankan perlunya kejelasan skema transisi. Jika benar ada peluang menjadi pengemudi Trans Jatim, maka syarat-syarat sebaiknya lebih fleksibel bagi sopir berpengalaman.

Selain itu, jika jalur angdes dialihkan menjadi feeder, harus ada perhitungan matang mengenai potensi penumpang, rute, dan tarif. Tanpa perhitungan itu, dikhawatirkan sopir hanya menjadi korban kebijakan.

Harapan dari Kalangan Sopir

Kekhawatiran Serikat Sopir Angdes di Malang merefleksikan realita yang dihadapi transportasi konvensional di era modernisasi angkutan umum. Mereka tidak menolak kehadiran layanan baru, tetapi menuntut solusi yang adil agar tidak terjadi penggusuran mata pencaharian.

Para sopir berharap pemerintah memberikan program pendampingan, termasuk pelatihan, legalisasi surat berkendara, hingga akses bantuan keuangan untuk peremajaan armada.

Dengan langkah nyata, Serikat Sopir Angdes di Malang yakin bisa beradaptasi, asalkan tidak ditinggalkan dalam proses perubahan transportasi di Jawa Timur.

Baca Juga:Kelangkaan Solar dan Dampaknya: Roda Ekonomi Kecil yang Tersendat