setelah InfoMalang – Pernyataan kontroversial YouTuber sekaligus pencipta konten keuangan, Timothy Ronald , menuai gelombang kritik potongan videonya viral di media sosial. Dalam video tersebut, Timothy dengan lantang menyebut bahwa orang yang rajin ke gym dan membentuk otot adalah orang dengan “otak kosong”. Ungkapan ini sontak menimbulkan suasana hangat, baik di kalangan warganet maupun para ahli di bidang kesehatan.
Dalam pernyataannya, Timothy menilai bahwa aktivitas gym, khususnya bagi mereka yang membentuk tubuh secara ekstrem, adalah kegiatan yang tidak masuk akal. “Menurut gue, orang yang suka nge-gym sampai badannya jadi banget itu nggak mungkin sepintar itu. Itu aktivitas paling goblok yang pernah gue temuin,” ujar Timothy dalam video yang kini banyak dibagikan ulang di berbagai platform. Ia bahkan menambahkan bahwa orang pintar cenderung tidak menikmati olahraga angkat beban karena dianggap membosankan.
Komentar ini memicu reaksi keras, terutama dari mereka yang aktif berolahraga atau berprofesi sebagai pelatih kebugaran. Banyak yang menganggap pernyataan Timothy sebagai bentuk penghinaan terhadap gaya hidup sehat dan orang yang berkomitmen menjaga kebugaran fisik. Tak sedikit pula yang menilai komentarnya hanya mencari sensasi agar viral.
Baca Juga: Darurat Lingkungan di Pakisaji, Tumpukan Sampah Ancam Kesehatan dan Aktivitas Warga
Dokter Jiwa Angkat Bicara: Pernyataan Timothy Distorsi Kognitif
Menanganggapi kontroversi ini, dr Lahargo Kembaren SpKJ, seorang psikiater, memberikan penjelasan ilmiah terkait fenomena tersebut. Menurutnya, pernyataan seperti yang dilontarkan Timothy termasuk dalam kategori distorsi kognitif , yaitu pola pikir salah yang menyimpang dari kenyataan tujuan.
“Pernyataan ini mencerminkan beberapa bentuk distorsi kognitif. Seseorang tidak lagi menilai sesuatu secara objektif dan muncul persepsi yang salah terhadap orang lain maupun suatu aktivitas,” jelas dr Lahargo saat dihubungi, Jumat (1/8/2025).
Ia menyebutkan beberapa bentuk distorsi kognitif yang mungkin mendasari pernyataan tersebut. Pertama adalah labeling , yaitu memberikan label secara menyeluruh pada sekelompok orang hanya berdasarkan satu aspek saja. “Contohnya, karena seseorang suka gym dan menjaga tubuhnya, lalu dianggap dia bodoh. Padahal kecerdasan seseorang tidak bisa diukur dari aktivitas fisik yang dia lakukan,” lanjutnya.
Overgeneralisasi dan Bias Konfirmasi
Jenis distorsi kedua adalah overgeneralization atau generalisasi yang berlebihan. Ini terjadi ketika seseorang menarik kesimpulan luas hanya dari pengalaman terbatas. Misalnya, jika pernah bertemu seseorang yang rajin ke gym namun kurang nyambung dalam percakapan, lalu disimpulkan bahwa semua orang yang suka gym memiliki kualitas yang sama.
Selain itu, Dr Lahargo juga menunjukkan adanya konfirmasi bias , di mana seseorang hanya mencari bukti yang mendukung keyakinannya sendiri sambil mengabaikan bukti yang bertentangan. “Mungkin hanya fokus pada influencer gym yang berbicara hal-hal meremehkan, tetapi mengabaikan fakta bahwa banyak atlet atau pelatih yang juga mendalami nutrisi, biologi, hingga ilmu olahraga,” ujarnya.
Bias ini, kata dr Lahargo, sering membuat seseorang menutup diri dari fakta-fakta baru. Jika ia menerima bukti yang bertentangan dengan keyakinannya, maka harus ada upaya untuk mengubah pola pikirnya, dan itu bisa menjadi hal yang sulit dilakukan. Akibatnya, orang dengan bias ini memilih mempertahankan keyakinan yang salah demi kenyamanan psikologis.
Konflik Batin dan Pola Pikir Hitam-Putih
Penyebab lain dari munculnya pernyataan semacam ini adalah disonansi kognitif atau konflik batin. Menurut dr Lahargo, mungkin saja seseorang sebenarnya tertarik pada olahraga, tetapi karena merasa hal itu tidak sesuai dengan citra dirinya, muncullah sikap meremehkan. “Untuk menyelesaikan konflik batin, ia memilih mempertahankan aktivitas tersebut,” tambahnya.
Selain itu, pola pikir hitam-putih juga dapat mempengaruhi cara pandang. Misalnya, anggapan bahwa orang pintar seharusnya menghabiskan waktu membaca buku daripada mengangkat beban. Padahal, banyak orang yang mampu menyeimbangkan kesehatan fisik dan kecerdasan intelektual secara bersamaan.
Fenomena berpikir dalam pola hitam-putih ini mengabaikan kenyataan bahwa aktivitas fisik dan intelektual bisa saling mendukung. Banyak individu yang memiliki prestasi akademis sekaligus berkomitmen dalam olahraga, termasuk latihan di gym. Mereka memandang olahraga sebagai bentuk investasi untuk kesehatan jangka panjang, bukan hanya mengejar penampilan fisik semata.
Olahraga Angkat Beban Justru Baik untuk Kognitif
Bertentangan dengan klaim Timothy, berbagai penelitian menunjukkan bahwa olahraga angkat beban memberikan manfaat signifikan bagi kesehatan otak. Latihan fisik terbukti meningkatkan sirkulasi darah ke otak, memperbaiki fungsi kognitif, dan mengurangi risiko gangguan mental. “Ngegym bukan hanya tentang penampilan fisik, tetapi juga memperkuat daya tahan tubuh, menurunkan stres, dan meningkatkan kualitas hidup,” tegas dr Lahargo.
Ia juga menambahkan bahwa menghakimi suatu aktivitas tanpa pemahaman mendalam hanya akan membatasi cara pandang terhadap kehidupan. “Manusia itu kompleks. Ada yang mengejar intelektualitas, ada yang mengejar kesehatan fisik, dan banyak pula yang mampu menggabungkan keduanya,” ujarnya.
Para ahli kebugaran juga mengatakan bahwa olahraga, termasuk angkat beban, tidak hanya berdampak pada tubuh tetapi juga pada kesehatan mental. Latihan beban membantu mengurangi kecemasan, meningkatkan rasa percaya diri, dan bahkan menstimulasi kemampuan berpikir. Ini membuktikan bahwa olahraga fisik tidak berbanding terbalik dengan kecerdasan.















