MALANG, Jawa Timur – Sebuah insiden yang menguji nilai toleransi dan keberagaman terjadi di Kota Malang. Seorang ulama dan akademisi, Dr. Imam Muslimin atau yang akrab disapa Yai MIM, mengaku ditolak dan diusir dari festival seni yang digelar oleh warga. Peristiwa ini menyisakan kekecewaan mendalam karena niat tulusnya untuk berbagi kebahagiaan dan mendukung budaya lokal justru berujung pada penolakan.
Niat Baik Berujung Kekecewaan
Insiden itu terjadi pada Minggu, 24 Agustus 2025, sekitar pukul 19.30 WIB, di Kampung Ndesan, Kelurahan Karangbesuki, Kecamatan Sukun.
Malam itu, Yai MIM sedang dalam perjalanan pulang dan mendapati adanya kemacetan panjang. Setelah bertanya kepada warga, ia mengetahui bahwa kemacetan disebabkan oleh lomba patrol yang diikuti oleh 12 RT.
Melihat antusiasme warga, hati Yai MIM, yang juga dikenal sebagai pecinta budaya, tergerak. Ia memutuskan untuk turun dari mobilnya dan berinisiatif bergabung.
Kebetulan, ia baru saja mendapatkan rezeki tak terduga dari penjualan salah satu koleksi jam tangannya dan ingin berbagi kebahagiaan tersebut. Ia berniat memberikan apresiasi berupa uang tunai kepada para peserta lomba.
“Saya hadir dengan pakaian yang merupakan identitas dan tradisi keulamaan, justru diduga menjadi alasan saya tidak bisa diterima di lokasi lomba di Kampung Ndesan tersebut,” ujar Yai MIM dengan nada kecewa.
Yai MIM, yang berdomisili di RT 07/RW 05 Kelurahan Karangbesuki, sempat berbaur dengan hangat di rute-rute awal. Namun, saat rombongan melintasi area dekat Pesantren Anwarul Huda, seorang yang diduga petugas keamanan lomba menghampirinya. Tanpa basa-basi, oknum tersebut memintanya untuk pergi.
Yai MIM menjelaskan bahwa ia adalah warga Karangbesuki dan sangat mencintai kegiatan budaya seperti lomba patrol. Namun, penjelasannya tidak didengar.
Ia menduga kuat bahwa protes itu terjadi karena penampilannya sebagai seorang ulama, lengkap dengan jubah, sorban, dan imamah.
Ironi di Tengah Tradisi
Kekecewaan Yai MIM semakin mendalam mengingat niat tulusnya untuk berbagi rezeki kepada seluruh peserta lomba. Sang istri, Inez (Rosida Vignesvari), membenarkan bahwa mereka telah menyiapkan dana yang tidak sedikit, yaitu Rp 1 juta untuk setiap orang peserta. Niat baik yang seharusnya disambut hangat justru berujung protes.
Insiden ini terasa sangat ironis jika melihat latar belakang Yai MIM (59). Ia adalah seorang Dosen Perguruan Tinggi Islam Negeri yang pernah belajar tentang Pendidikan Bahasa Arab dan Budaya Islam di Al-Azhar, Kairo, Mesir. Lebih dari itu, darah pecinta budaya mengalir dalam dirinya dari para leluhurnya.
Baca Juga:18 Agustus 2025, Inilah Hari Besar dan Peristiwa Penting yang Diperingati
Dari jalur ayah, ia merupakan keturunan keenam dari Sunan Ampel (Sayyid Rahmatillah), salah satu Wali Songo yang dikenal menyebarkan ajaran Islam melalui pendekatan budaya dan kesenian.
Dari jalur ibu, nasabnya bersambung ke Sunan Bonang (Sayyid Makhdoum Ibrahim), Wali Songo lainnya yang juga berdakwah melalui jalur kesenian.
Pengusiran ini seolah menampar sejarah dakwah di Nusantara, di mana Islam justru berkembang pesat karena akulturasi dengan budaya lokal.
Kejadian ini menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya menjaga toleransi dan tidak mudah menghakimi orang lain berdasarkan penampilan luarnya.
Pentingnya Dialog dan Penguatan Nilai Keberagaman
Insiden seperti yang dialami Yai MIM menunjukkan bahwa meskipun Indonesia dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi toleransi, masih ada pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan.
Pemahaman yang sempit dan prasangka terhadap kelompok lain, apalagi hanya berdasarkan penampilan, dapat menjadi pemicu perpecahan.
Peristiwa ini seharusnya menjadi momentum untuk melakukan refleksi. Pentingnya dialog antarwarga, pemuka agama, dan tokoh masyarakat perlu digalakkan.
Kampanye tentang nilai-nilai keberagaman dan persatuan harus terus digaungkan, tidak hanya dalam bentuk slogan, tetapi juga dalam tindakan nyata sehari-hari.
Lomba patrol, sebagai sebuah tradisi dan wujud ekspresi budaya, seharusnya menjadi ruang terbuka yang merangkul semua kalangan.
Ketika ruang itu justru menjadi eksklusif, esensi dari kegiatan itu sendiri menjadi berkurang. Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa budaya dan agama dapat berjalan beriringan dan saling menguatkan.
Yai MIM, dengan latar belakangnya yang kaya akan tradisi budaya dan keagamaan, adalah contoh nyata bagaimana keduanya dapat bersatu.
Niatnya untuk berpartisipasi dan berbagi adalah bukti bahwa perbedaan penampilan bukanlah penghalang untuk berbuat baik.
Insiden ini hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi warga di mana pun untuk lebih terbuka, menghormati, dan merayakan keberagaman yang ada.
Baca Juga:Pendaki yang Hilang di Gunung Buthak Akhirnya Berhasil Diselamatkan Tim SAR















