Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Satuan Reserse Kriminal Polres Malang terus mendalami kasus dugaan penganiayaan seorang santri berinisial AZR (14) di salah satu pondok pesantren wilayah Pakisaji, Kabupaten Malang. Hingga Senin (14/7/2025), penyidik sudah memeriksa sedikitnya 10 orang saksi dan tidak menutup kemungkinan jumlahnya akan bertambah seiring perkembangan penyidikan.
Kasatreskrim Polres Malang AKP Muhammad Nur menuturkan, pihaknya bergerak cepat dengan memanggil saksi-saksi terkait. “Saat ini sudah 10 orang saksi kita periksa. Kemungkinan masih akan bertambah lagi,” ujarnya. Nur memastikan proses penyidikan dilakukan secara transparan dan sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Selain fokus pada penyidikan, Polres Malang memberikan pendampingan penuh terhadap korban. Korban yang masih berstatus santri telah mendapat perawatan di RS Wava Husada, Kepanjen, untuk mengobati luka fisiknya. “Kami juga memberikan pendampingan psikologis dan trauma healing untuk memulihkan kondisi kesehatan korban,” tambah Nur.
Sejak Jumat (11/7/2025), tim gabungan UPPA Satreskrim bersama psikolog kepolisian mendatangi rumah korban di Kecamatan Wonosari. Mereka melakukan asesmen awal, sekaligus mendampingi korban saat pemeriksaan medis. Upaya ini dilakukan untuk memastikan korban mendapatkan perlindungan maksimal, baik secara hukum maupun kesehatan.
Dugaan penganiayaan tersebut mencuat setelah video kondisi korban viral di media sosial. Dalam rekaman tampak betis dan tungkai kaki korban mengalami luka memar serta lebam. Dari hasil penyelidikan sementara, korban diduga dipukul berulang kali menggunakan rotan oleh seorang pengasuh pesantren berinisial B. Penyebabnya, korban keluar dari area pondok untuk membeli makanan tanpa izin.
“Korban ini dipukul menggunakan rotan di bagian jari-jari kaki dan betis. Itu dilakukan karena korban keluar dari pondok untuk membeli sesuatu,” jelas Nur. Meski begitu, penyidik memastikan akan memeriksa secara menyeluruh semua pihak yang terlibat.
Kanit PPA Satreskrim Polres Malang, Aiptu Erlehana BR Maha, mengonfirmasi bahwa perkara ini sudah naik ke tahap penyidikan sejak laporan diterima pada Jumat (20/6/2025). “Perkara ini sudah kami naikkan ke penyidikan. Namun kami masih kekurangan saksi yang melihat langsung kejadian,” katanya.
Baca Juga: RSUD Kanjuruhan Malang Diterpa Dugaan Rekayasa Tender
Surat panggilan telah dikirim kepada pihak pesantren agar menghadirkan santri yang berada di lokasi saat kejadian. Namun, beberapa saksi belum memberikan keterangan. Aiptu Erlehana menyatakan pengasuh pondok yang dilaporkan telah diperiksa, tetapi statusnya masih sebagai terlapor dan belum dilakukan penahanan. “Sudah kami periksa, tapi belum ditahan,” tegasnya.
Menariknya, meskipun korban hanya melaporkan satu orang, polisi membuka kemungkinan adanya pelaku lain. “Ada dugaan tersangka lebih dari satu. Korban menyebut sebelumnya pernah dipukul ustaz lain dengan tangan kosong karena membelikan rokok untuk temannya,” ungkap Erlehana. Selain itu, penyidik juga mendalami kemungkinan adanya korban lain yang belum melapor.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Malang, Arbani Mukti Wibowo, menegaskan bahwa tindakan penganiayaan tidak bisa dibenarkan dengan dalih pendidikan. “Kalau tujuannya mendidik tidak masuk kekerasan. Tapi kalau sudah ada pemukulan yang melukai, itu jelas kekerasan,” ujarnya. Arbani menekankan pentingnya visum et repertum sebagai bukti kuat dalam laporan hukum.
Menurut Arbani, batas antara hukuman yang bersifat mendidik dan kekerasan fisik sangat tipis. Setiap pengasuh atau pendidik harus memahami bahwa santri dititipkan ke pesantren untuk dididik, bukan disakiti. “Mendidik untuk disiplin ada batasannya. Tidak kemudian tiba-tiba dipukul. Itu yang jadi kekerasan,” tegasnya.
Kasus yang terjadi saat malam takbiran Iduladha awal Juni 2025 itu kini dalam pemantauan publik. Polres Malang menegaskan akan memproses hukum secara profesional dan melindungi hak anak. Langkah cepat ini diharapkan memberi efek jera kepada siapapun yang berniat melakukan kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan maupun pesantren.
Dengan penyidikan yang terus berlanjut, polisi berkomitmen memastikan korban mendapat keadilan, sekaligus mencegah peristiwa serupa terulang di masa depan. Kasus ini menjadi pengingat pentingnya perlindungan anak sebagai prioritas utama dalam setiap lembaga pendidikan.
Baca Juga: Dugaan Penganiayaan Santri, Pengasuh Ponpes Pakisaji Buka Suara















