Puluhan warga Ngajum laporkan dugaan mafia tanah ke Polda Jatim. Laporan ini muncul setelah mereka menemukan indikasi sertifikat ganda pada lahan perkebunan tebu seluas 15 hektare yang telah dikelola selama lebih dari 30 tahun.
Warga datang dengan didampingi kuasa hukum, Masbuhin, untuk menyerahkan laporan resmi. Berdasarkan data, laporan tersebut telah teregister dengan nomor LP/B/1197/VIII/2025/SPKT/Polda Jawa Timur.
Menurut keterangan Masbuhin, kliennya merupakan pemilik sah lahan perkebunan tebu seluas kurang lebih 15 hektare. Kepemilikan itu dibuktikan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten Malang sejak tahun 1994. Selain itu, setiap tahun warga juga rutin membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Namun, pada 2024, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Malang tiba-tiba menerbitkan sertifikat baru atas nama pihak lain di lahan yang sama. Kondisi ini menimbulkan indikasi adanya praktik mafia tanah dengan modus penerbitan sertifikat ganda.
“Warga sudah puluhan tahun menguasai lahan dengan SHM resmi. Tapi tiba-tiba muncul sertifikat baru di atas tanah yang sama. Itu jelas janggal dan berpotensi melanggar hukum,” tegas Masbuhin di Mapolda Jatim.
Salah satu kasus dialami Tarimin, warga yang sejak 1993 memiliki SHM atas tanah seluas 4.603 meter persegi. Namun, pada 31 Juli 2024, BPN Kabupaten Malang menerbitkan sertifikat baru atas nama MSE yang justru mencakup lahan Tarimin beserta tiga warga lainnya.
Contoh lain menimpa tanah milik Soekari Poerwanto, yang telah dijual kepada Sri Rahayu pada 2013 dengan akta jual beli PPAT. Anehnya, pada 2024 terbit lagi SHM baru atas nama MDZ. Menurut Masbuhin, pola serupa banyak terjadi dan menunjukkan adanya sistem terstruktur.
“Ini bukan kesalahan administrasi biasa. Ada indikasi kuat pemalsuan dokumen dalam program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap),” ujarnya.
Masbuhin menduga modus yang digunakan mafia tanah adalah memalsukan dokumen, menggabungkan tanah milik warga, lalu mendaftarkannya kembali melalui program PTSL. Tidak menutup kemungkinan ada keterlibatan oknum aparat atau pejabat dalam memuluskan praktik tersebut.
“Kalau dilihat dari polanya, ini bukan tindakan perorangan. Ada jaringan yang sistematis, termasuk pihak yang menyuruh, membantu, bahkan mendanai,” kata Masbuhin.
Baca Juga: Bikin Haru, Dosen UNESA Ajak Ibunya Lihat Kampus Tempat Ia Kuliah dan Kini Mengajar
Ia menambahkan, mafia tanah bukan hanya merugikan individu, tetapi juga mengganggu stabilitas hukum, sosial, dan ekonomi. Jika dibiarkan, kasus seperti ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.
Hingga kini, sekitar 20 warga dengan total lahan 15 hektare sudah resmi melapor ke Polda Jatim. Namun, jumlah korban diperkirakan lebih banyak karena masih ada sekitar 30 warga lain yang mengalami nasib serupa.
“Warga yang sudah kami dampingi baru sebagian. Kami yakin jumlah korban mafia tanah di wilayah Malang lebih besar dari yang terlihat saat ini,” ungkap Masbuhin.
Firma hukum Masbuhin & Partners yang dipercaya warga telah melakukan verifikasi lapangan sejak 19 September 2025. Tim advokat menemukan sejumlah bukti yang memperkuat dugaan adanya praktik mafia tanah.
Usai laporan masuk, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jatim segera menindaklanjuti dengan memeriksa saksi-saksi terkait. Warga mengapresiasi langkah cepat kepolisian tersebut dan berharap pengungkapan bisa dilakukan secara transparan.
“Harapan kami, jajaran Ditreskrimum Polda Jatim dapat membongkar kasus ini sampai tuntas. Jangan hanya pelaku lapangan, tapi juga penyuruh, pembantu, hingga pendananya,” tegas Masbuhin.
Ia menegaskan, kasus ini harus dijadikan momentum untuk memberantas mafia tanah di Jawa Timur, khususnya di Malang Raya.
Fenomena mafia tanah bukan hal baru di Indonesia. Presiden Joko Widodo bahkan pernah menegaskan pentingnya pemberantasan praktik mafia tanah yang kerap merugikan masyarakat kecil. Aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, diminta tidak ragu menindak siapapun yang terlibat.
Dalam konteks ini, kasus di Ngajum menjadi gambaran nyata bagaimana mafia tanah beroperasi di tingkat lokal. Dengan dokumen palsu dan celah administrasi, tanah yang sah milik warga bisa tiba-tiba berganti nama.
Para warga korban mafia tanah berharap aparat penegak hukum benar-benar melindungi hak mereka. Selain itu, pemerintah diminta memperketat pengawasan program PTSL agar tidak disalahgunakan.
“Kami hanya ingin hak kami kembali. Tanah itu sudah kami kelola turun-temurun, bayar pajak rutin, dan punya sertifikat resmi. Kalau masih bisa diambil orang lain, lalu di mana keadilan?” tutur salah satu warga Ngajum.
Masbuhin menegaskan, pihaknya siap mengawal kasus ini hingga ke meja hijau jika diperlukan.
“Kami akan terus mendampingi warga sampai ada kepastian hukum. Mafia tanah harus dihentikan, karena kalau tidak, masyarakat kecil akan terus menjadi korban,” pungkasnya.
Baca Juga: Momen Foto Terakhir Karyawan SPBU Shell Gading Serpong Bikin Haru, Diduga Imbas PHK Massal















