infomalang.com/ – Di dunia investasi, istilah "sell in May and go away" sudah tak asing lagi. Ungkapan ini kerap dikaitkan dengan penurunan pasar saham pada bulan Mei. Namun, benarkah demikian? Mari kita telusuri lebih dalam.
Frase lengkapnya adalah "Sell in May and go away; Don’t come back until St. Leger’s Day," yang bermula di Inggris. Bangsawan, pedagang, dan bankir Inggris pada masa lalu biasa berlibur ke pedesaan selama musim panas. "St. Leger’s Day," yang jatuh pada September, merujuk pada balapan kuda bergengsi.

Meskipun populer di pasar keuangan Inggris, istilah ini baru relevan di Amerika Serikat pasca Perang Dunia II. Teori ini menyatakan periode Mei hingga Oktober cenderung negatif bagi pasar saham, berbanding terbalik dengan periode November hingga April. Teori ini juga dikenal sebagai "Halloween Indicator" atau "Halloween Effect," yang menggambarkan investor cenderung melepas portofolio mereka pada periode tersebut.
Investopedia mencatat, antara tahun 1950 hingga sekitar 2013, Dow Jones Industrial Average (DJIA) memang menunjukkan rata-rata return yang rendah (0,3%) selama Mei-Oktober, jauh di bawah rata-rata keuntungan 7,5% pada periode November-April (data Forbes, 2017). Penurunan volume perdagangan selama liburan musim panas dan peningkatan arus dana investasi di musim dingin disebut sebagai faktor pendukung.
Namun, riset Bank of America Merrill Lynch menunjukkan periode Juni-Agustus justru menjadi periode terbaik kedua secara historis (sejak 1928). Lebih lanjut, statistik terkini mengindikasikan pola musiman ini sudah tak lagi akurat. Artikel di Investor’s Business Daily pada Mei 2018 bahkan menunjukkan bahwa menjual saham pada Mei 2016 berarti melewatkan beberapa peluang emas.
Sell in May and Go Away di Indonesia
Secara historis, IHSG selama 10 tahun terakhir menunjukkan pelemahan pada bulan Mei, kecuali pada tahun 2015 dan 2020. Namun, periode Mei-Oktober secara keseluruhan lebih banyak menunjukkan tren positif daripada negatif. Rudiyanto, Direktur PT Panin Asset Management, menyatakan tingkat akurasi teori "Sell in May and Go Away" di pasar saham Indonesia hanya 38%, atau tepat hanya pada 8 dari 21 tahun pengamatan. Ia menambahkan, teori turunannya, "Buy in November," justru lebih akurat.
infomalang.com/ Research mencatat, penguatan IHSG pada Maret-April 2025 mengindikasikan potensi jeda pada Mei 2025. Sentimen negatif, seperti kontraksi ekonomi AS pada kuartal pertama 2025 akibat lonjakan impor dan perang dagang, juga perlu dipertimbangkan. Perlambatan belanja konsumen dan penurunan pengeluaran federal turut berkontribusi pada angka PDB yang lemah. Laporan ini memberikan sinyal campuran bagi The Federal Reserve menjelang pertemuan kebijakannya.
Kesimpulannya, meskipun "Sell in May and Go Away" cukup populer, keakuratannya patut dipertanyakan, terutama di pasar saham Indonesia. Analisis mendalam terhadap kondisi ekonomi makro dan sentimen pasar tetap krusial dalam pengambilan keputusan investasi.















