Breaking

Kabupaten Malang Darurat Perkawinan Anak, DP3A Ungkap Akar Masalah dan Dampak Buruknya

infomalang.com/, MALANG – Isu serius mengenai perkawinan anak kembali mencuat di Kabupaten Malang. Meskipun angkanya menunjukkan sedikit penurunan, wilayah ini masih menempati urutan yang mengkhawatirkan. Menurut data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Malang, daerah ini masih berada di posisi kelima kasus perkawinan anak di seluruh Provinsi Jawa Timur. Fakta ini menjadi lampu merah bagi semua pihak untuk lebih proaktif dalam mencari solusi, terutama setelah Kepala DP3A Kabupaten Malang, drg. Arbani Mukti Wibowo, membeberkan berbagai penyebab dan dampak buruk dari fenomena ini.

Urutan Kelima dan Definisi “Angka Absolut”

Arbani Mukti Wibowo menjelaskan bahwa peringkat kelima yang ditempati Kabupaten Malang adalah berdasarkan “angka absolut”. Angka ini merujuk pada jumlah kasus yang tinggi, yang juga dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang besar di wilayah tersebut. “Kalau dari sisi angka absolut, Kabupaten Malang tinggi. Tetapi tidak sama seperti di tahun 2022 itu angkanya kita nomor dua se-Jawa Timur secara absolut. Untuk tahun 2023, 2024 kita rangking lima secara absolut dan di tahun 2025 ini sementara kita masih di lima besar,” ungkap Arbani kepada JatimTIMES.com.

Ia menambahkan, jika dihitung secara persentase, angkanya sebenarnya tidak setinggi itu jika dibandingkan dengan total populasi. Namun, hal ini tidak mengurangi urgensi masalah. Hingga pertengahan Juli 2025, jumlah kasus perkawinan anak di Kabupaten Malang sudah mencapai sekitar 120 perkawinan, yang merupakan angka rekomendasi dispensasi kawin yang telah disetujui oleh hakim di Pengadilan Agama. Data ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya pencegahan, jumlah kasus baru terus bermunculan setiap tahun.

Baca Juga:Bupati Malang Tegas Larang Study Tour ke Luar Daerah, Ini Alasannya

Mengurai Empat Penyebab Utama Perkawinan Anak

Arbani membeberkan sejumlah penyebab yang kompleks dan saling terkait di balik tingginya kasus perkawinan anak di Kabupaten Malang. Ia membaginya menjadi empat aspek utama:

  1. Aspek Ekonomi: Masih banyak orang tua yang beranggapan bahwa menikahkan anak, terutama anak perempuan, akan membebaskan mereka dari tanggung jawab merawat dan membiayai. Mereka percaya bahwa tanggung jawab tersebut akan berpindah sepenuhnya ke suami. Padahal, seringkali suami yang masih berusia anak-anak itu belum siap dan mandiri secara ekonomi. Situasi ini justru menjadi beban ganda bagi orang tua, dan bahkan berpotensi menciptakan kemiskinan baru di Kabupaten Malang, karena pasangan muda ini tidak memiliki bekal yang cukup untuk bertahan hidup.
  2. Aspek Mental dan Perilaku: Di era digital yang didominasi gadget, Arbani menemukan bahwa banyak anak-anak yang mengalami fenomena “dewasa sebelum waktunya”. Melalui media sosial dan konten digital yang mudah diakses, pola pikir anak-anak ini berubah. Mereka merasa siap dan bahkan meminta untuk segera dikawinkan, padahal secara mental mereka belum matang untuk menghadapi tantangan rumah tangga yang berat. Pernikahan membutuhkan kesepakatan, kemandirian, dan kesiapan untuk menghadapi badai kehidupan. Ketika anak-anak yang seharusnya masih bermain harus menghadapi tanggung jawab besar, mereka cenderung kembali ke kebiasaan lama, yang seringkali menjadi pemicu konflik dan berakhir pada perceraian.
  3. Aspek Pergaulan: Pergaulan yang salah dan mengarah ke pergaulan bebas menjadi salah satu penyebab utama lainnya. Hal ini seringkali berujung pada kehamilan di luar nikah, yang kemudian menjadi alasan kuat bagi orang tua untuk segera menikahkan anak mereka. Masalah ini juga tidak lepas dari peran media sosial yang menyebarkan informasi negatif tanpa filter, yang dapat merusak moral dan perilaku anak. Pengawasan orang tua dan sosialisasi masif menjadi kunci untuk mencegah pergaulan yang salah ini.
  4. Aspek Budaya: Terakhir, Arbani menyoroti faktor budaya dan perilaku. Masih ada orang tua yang beranggapan bahwa ketika anak-anaknya sudah mencapai usia akil baligh atau dewasa menurut pandangan Islam, mereka harus segera dinikahkan. Pikiran ini muncul dari kekhawatiran anak mereka akan dianggap sebagai “joko tua” atau “perawan tua”. Perubahan pola pikir ini menjadi salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi dalam upaya pencegahan perkawinan anak.

Dampak Serius dan Upaya Pencegahan Masif

Perkawinan anak memiliki dampak yang sangat serius, terutama pada kesehatan. Bagi seorang istri yang dinikahkan di usia dini, kondisi rahim dan tubuhnya yang belum siap dapat membuatnya rentan mengalami berbagai gangguan kesehatan, termasuk komplikasi kehamilan dan persalinan.

Untuk mencegah hal ini, DP3A Kabupaten Malang tidak tinggal diam. Mereka secara masif terus memberikan sosialisasi dan edukasi kepada anak-anak maupun orang tua tentang dampak buruk perkawinan anak. Selain itu, DP3A juga melibatkan berbagai pihak, mulai dari jajaran lintas perangkat daerah di lingkungan Pemkab Malang hingga organisasi kemasyarakatan, terutama yang berbasis keagamaan. Tujuannya adalah untuk menciptakan gerakan kolektif yang dapat mengubah pola pikir dan budaya yang sudah mengakar.

Arbani mengakui bahwa perubahan budaya tidak bisa dicapai dalam waktu singkat. “Ya target kami tidak muluk-muluk, paling tidak angka absolut ini kita bisa di rangking 10 ke atas. Karena memang merubah budaya dan mindset tidak bisa satu sampai dua tahun, biasanya lebih dari lima tahun,” pungkasnya. Pernyataan ini menunjukkan pendekatan yang realistis dan komitmen jangka panjang, bahwa pencegahan perkawinan anak adalah sebuah perjuangan yang membutuhkan kesabaran, konsistensi, dan kerja sama dari seluruh elemen masyarakat.

Baca Juga:Game Roblox Dilarang untuk Anak: Kisah Sule dan Ashanty Jadi Sorotan