Di tengah gemerlap kesenian tradisional Jawa Timur, Topeng Menak Malang menempati posisi unik. Kesenian ini bukan sekadar hiburan, melainkan hasil dari perjalanan panjang lintas budaya yang berawal dari Timur Tengah, melintasi perairan Melayu, hingga berakar di tanah Jawa. Menariknya, seni ini lahir dari perpaduan dakwah, strategi kebudayaan, dan kreativitas masyarakat Malang.
Asal-usul dari Legenda Amir Hamzah
Kisah Topeng Menak berawal dari legenda Amir Hamzah, paman Nabi Muhammad SAW yang terkenal sebagai tokoh pemberani dan bijaksana pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasid. Cerita ini tidak hanya memuat unsur kepahlawanan, tetapi juga sarat nilai moral, keberanian, kesetiaan, dan kebijaksanaan.
Dari Timur Tengah, kisah Amir Hamzah masuk ke wilayah Melayu dan diterjemahkan menjadi Hikayat Amir Hamzah. Proses ini terjadi pada masa jatuhnya Kesultanan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511—periode yang menandai awal kolonialisme Barat di Nusantara. Pada masa penuh guncangan itu, kisah-kisah heroik menjadi penting sebagai penguat semangat rakyat.
Transformasi oleh Wali Songo
Di tanah Jawa, Sunan Giri memainkan peran sentral dalam mengadaptasi Hikayat Amir Hamzah menjadi Serat Menak. Sunan Giri, seorang tokoh penyebar Islam yang juga maestro seni pertunjukan, memadukan dakwah dengan kesenian. Ia tidak hanya memodifikasi kisah Menak, tetapi juga mempopulerkan kisah Panji melalui Wayang Gedog.
Menariknya, Sunan Giri dan para ulama saat itu membangun narasi kebudayaan yang memadukan tiga kisah besar: Mahabharata, Panji, dan Menak. Gabungan ini membentuk sebuah “paket” cerita yang kaya akan nilai kepahlawanan, romansa, strategi politik, dan wawasan peradaban.
Lahirnya Topeng Menak di Malang
Awalnya, kisah Menak dipentaskan dalam bentuk Wayang Golek Menak di beberapa daerah seperti Mataram dan Yogyakarta. Pada masa Hamengkubuwono IX, bahkan muncul pertunjukan Joget Golek Menak, yaitu tarian Menak tanpa boneka wayang, diperankan langsung oleh penari.
Namun, di Malang, adaptasinya berjalan berbeda. Masyarakat setempat memadukan topeng Panji dengan kisah Menak, menciptakan bentuk seni baru yang kemudian dikenal sebagai Topeng Menak Malang. Proses ini adalah bentuk hibriditas seni, di mana dua tradisi lokal dan asing melebur menjadi satu karya budaya yang khas.
Topeng Menak Malang tidak hanya mempertahankan unsur narasi dari kisah Amir Hamzah, tetapi juga memanfaatkan kekuatan ekspresi topeng dalam menyampaikan emosi, karakter, dan pesan moral. Dalam setiap pementasan, penonton disuguhi kombinasi gerak tari, musik tradisional, kostum yang memukau, dan jalan cerita yang penuh nilai kehidupan.
Baca Juga:Bupati Malang Dorong Pendaftaran Bantengan Sebagai HAKI, Upaya Pelestarian Budaya Lokal
Menak: Gelar dan Identitas Budaya
Kata “Menak” sendiri di Nusantara dikenal sebagai gelar kebangsawanan. Gelar ini ada di berbagai daerah, seperti Sunda, Palembang, hingga Banyuwangi. Tokoh legendaris seperti Prabu Menak Jinggo menjadi bukti bahwa istilah ini telah lama melekat dalam identitas budaya masyarakat.
Adaptasi kisah Amir Hamzah menjadi cerita Menak di Jawa adalah bentuk perbumisasian—proses penyesuaian cerita asing agar sesuai dengan konteks budaya lokal. Lewat proses ini, kisah Menak tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana pendidikan budaya dan agama.
Nilai dan Makna dalam Topeng Menak
Topeng Menak Malang bukan sekadar peninggalan masa lalu. Ia adalah media dakwah yang membungkus pesan moral dalam balutan seni. Nilai-nilai seperti keberanian, kesetiaan, kebijaksanaan, dan perjuangan mempertahankan kedaulatan menjadi inti cerita. Bagi para ulama dan seniman terdahulu, kesenian adalah alat strategis untuk membangun peradaban.
Ketua Lesbumi PBNU, KH. M. Jadul Maula, menyebut Topeng Menak sebagai bukti kecerdasan para ulama Nusantara. Mereka berhasil meramu seni pertunjukan menjadi sarana membangun wawasan luas sekaligus menanamkan akar sejarah yang kuat pada masyarakat.
Revitalisasi dan Harapan
Kini, melalui program Burak Bawana Menak yang diinisiasi Lesbumi Kota Malang, upaya menghidupkan kembali Topeng Menak semakin nyata. Acara ini tidak hanya menghadirkan pementasan, tetapi juga diskusi mendalam tentang sejarah dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Harapannya, kesenian ini kembali populer di kalangan generasi muda, tidak hanya sebagai tontonan, tetapi juga sebagai warisan budaya yang membentuk jati diri. Bahkan, ada langkah untuk mengusulkan Topeng Menak sebagai Warisan Budaya Takbenda Nasional, sehingga mendapat pengakuan resmi dan perlindungan hukum.
Topeng Menak Malang adalah contoh nyata bagaimana sebuah kisah dari Persia bisa bertransformasi menjadi kesenian khas Jawa Timur yang sarat makna. Perjalanan panjang dari Timur Tengah, melalui adaptasi para Wali Songo, hingga kreativitas masyarakat Malang menunjukkan betapa dinamisnya kebudayaan Nusantara.
Dengan menghidupkan kembali Topeng Menak, kita tidak hanya melestarikan seni, tetapi juga menjaga warisan strategi peradaban yang memadukan dakwah, budaya, dan jati diri bangsa. Inilah kekayaan yang seharusnya terus kita rawat—agar masa depan tetap berakar pada sejarah yang agung.
Baca Juga:Pesta Rakyat Malang Raya: Kolaborasi Budaya, Hiburan, dan Ekonomi Lokal















