Breaking

Lebih dari Sekadar Pesta Inilah Ritual Budaya Bantengan Nuswantara ke-17

KOTA BATU – Udara sejuk Kota Batu pada Minggu pagi, 3 Agustus 2025 lalu, terasa berbeda. Aromanya bukan lagi sekadar hawa pegunungan yang segar, melainkan perpaduan pekat wangi dupa, dentuman ritmis gamelan, dan gemuruh sorak-sorai ribuan manusia. Jalanan utama yang biasanya lengang di pagi hari kini berubah menjadi lautan manusia. Mereka semua menjadi saksi dari sebuah perhelatan akbar: Bantengan Nuswantara ke-17, sebuah festival yang jauh melampaui definisi pesta biasa. Ini adalah sebuah ritual budaya massal, sebuah panggung di mana seni, tradisi, dan energi spiritual bertemu.

Dengan nama branding “Bantengan Nuswantara Ke-17 Trance Festival”, acara tahun ini menegaskan identitasnya sebagai perayaan yang mengakar pada elemen ‘ndadi’ atau trance, sebuah kondisi saat penari diyakini menyatu dengan roh banteng yang mereka perankan. Fenomena inilah yang menjadi jantung dari keseluruhan acara, mengubah parade yang meriah menjadi sebuah pengalaman yang sakral dan memikat, membuktikan bahwa warisan leluhur tidak hanya hidup, tetapi juga berdenyut kuat di tengah modernitas.

Jalanan Kota Sebagai Panggung Sakral

Sejak pagi, denyut kehidupan kota seakan terpusat pada satu jalur. Dimulai dari Stadion Brantas, parade kolosal ini bergerak menyusuri arteri utama Kota Batu. Barisan peserta yang mengular melewati Jalan Sultan Agung dan Jalan Agus Salim, mengitari Alun-Alun yang menjadi titik pusat perhatian, sebelum melanjutkan perjalanan di Jalan Gajahmada dan Jalan Panglima Sudirman. Rute panjang ini berakhir dengan klimaks di depan rumah dinas wali kota, secara efektif mengubah wajah kota menjadi sebuah panggung terbuka raksasa.

Di sepanjang rute, pemandangan pesta rakyat tersaji di setiap sudut. Keluarga menggelar tikar sambil menikmati bekal, anak-anak kecil dengan mata berbinar duduk di pundak orang tua mereka untuk mendapatkan pandangan terbaik, sementara wisatawan domestik dan mancanegara tak henti-hentinya mengabadikan setiap momen. Namun, di antara kemeriahan itu, ada fokus yang tak teralihkan pada para pemain bantengan. Gerakan mereka yang lincah dan bertenaga, diiringi musik yang membangkitkan semangat, sesekali mencapai puncaknya pada adegan ‘ndadi’. Saat itulah suasana berubah menjadi lebih hening, lebih intens, dan sedikit misterius, seolah penonton diajak masuk ke dalam dimensi lain dari pertunjukan.

Baca Juga:Bupati Malang Dorong Pendaftaran Bantengan Sebagai HAKI, Upaya Pelestarian Budaya Lokal

Harmoni Ratusan Grup dalam Satu Semangat

Kekuatan utama Bantengan Nuswantara terletak pada partisipasi massalnya. Tahun ini, tercatat tidak kurang dari 135 kelompok kesenian bantengan dari seluruh penjuru Malang Raya turut serta. Setiap kelompok membawa identitasnya sendiri, tercermin dari kostum kepala banteng yang megah dan penuh warna, aransemen musik pengiring yang khas, hingga pola koreografi yang unik. Keragaman ini menjadi sebuah pertunjukan tersendiri, memastikan penonton disuguhi atraksi yang dinamis dan tidak monoton. Meski gayanya berbeda, semangat yang mereka usung tetap satu: menghormati tradisi dan menampilkan yang terbaik bagi dunia.

Yang lebih membanggakan, panggung Nuswantara tahun ini semakin mengglobal. Seniman-seniman dari Jepang, Australia, Chile, Meksiko, Hongkong, dan Malaysia terlihat berjalan beriringan dengan para seniman lokal. Menurut Anjani Sekar Arum dari komunitas Pemuda Bantengan Nuswantara, kehadiran delegasi internasional ini bukanlah hal baru. “Sejak tahun 2016, apresiasi dari dunia luar terus mengalir. Mereka rutin mengirimkan perwakilan untuk tampil dan belajar, sebagai bentuk penghormatan terhadap seni dan kearifan lokal kita,” jelasnya. Kolaborasi ini mengubah festival menjadi sebuah titik temu budaya global, di mana tradisi lokal Batu menjadi inspirasi bagi dunia.

Bantengan Nuswantara adalah bukti hidup bagaimana sebuah tradisi dapat terus tumbuh. Festival ini menjadi ruang pertemuan antargenerasi, sarana promosi pariwisata yang efektif, sekaligus penggerak ekonomi kerakyatan. Berkahnya dirasakan langsung oleh pedagang kaki lima, pemilik penginapan, hingga penjual cendera mata yang kebanjiran pesanan. Pada akhirnya, ketika musik, gerak, dan energi ribuan peserta berpadu, Bantengan Nuswantara bukan lagi sekadar tontonan. Ia adalah sebuah pernyataan, sebuah panggilan jiwa. Seperti yang kerap diucapkan warga dengan bangga, matur nuwun, karena suara banteng ini akan terus menggema, dari Batu untuk dunia.

Baca Juga:Pesta Rakyat Malang Raya: Kolaborasi Budaya, Hiburan, dan Ekonomi Lokal