infomalang.com/ – Airbus melalui cabangnya di Singapura resmi menjalin kemitraan dengan para peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) di Jawa Barat untuk mengembangkan bahan bakar penerbangan berkelanjutan atau Sustainable Aviation Fuel (SAF) berbasis biomassa. Kerja sama ini menandai langkah strategis menuju era penerbangan ramah lingkungan, sejalan dengan tren global menuju pengurangan emisi karbon.

Target Produksi Ambisius
Proyek ini memiliki target ambisius, yakni memproduksi hingga 100 juta ton SAF per tahun menggunakan bahan baku organik seperti sisa tanaman, kayu, serta limbah pertanian. Bahan bakar ini diharapkan dapat menjadi alternatif ramah lingkungan bagi industri penerbangan yang selama ini mengandalkan bahan bakar fosil.
Saat ini, sebagian besar SAF diproduksi dari minyak goreng bekas, limbah minyak sawit, dan minyak sayur berkualitas rendah. Namun, pasokan dari sumber ini sangat terbatas karena bersaing dengan kebutuhan pangan. Oleh karena itu, penggunaan biomassa sebagai bahan baku utama dinilai lebih berkelanjutan dan memiliki potensi skala yang lebih besar.
Potensi Biomassa di Indonesia
Menurut Meika Syahbana Rusli, Direktur Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) IPB, Indonesia mampu memasok hingga 500 juta ton biomassa setiap tahun, jumlah yang mencapai lima kali lipat kebutuhan Airbus. Sumber utama biomassa ini berasal dari tandan kosong kelapa sawit di Sumatra dan Kalimantan, serta jerami padi yang melimpah di Jawa.
Meski demikian, tantangan tetap ada. Pengumpulan biomassa terkendala oleh infrastruktur yang belum memadai, ketiadaan kerangka hukum yang jelas, dan keterbatasan teknologi pengolahan skala besar. Faktor-faktor ini harus diatasi agar produksi SAF berbasis biomassa dapat berjalan optimal.
Baca Juga:Lebih dari Sekadar Pesta Inilah Ritual Budaya Bantengan Nuswantara ke-17
Risiko Lingkungan yang Perlu Diantisipasi
Peningkatan produksi dan konsumsi biomassa di Indonesia, terutama dalam bentuk pelet kayu dan serpihan kayu, telah menunjukkan tren positif dalam mendukung energi terbarukan. Namun, tren ini juga memicu kekhawatiran terkait risiko deforestasi.
Lembaga pengawas lingkungan Auriga Nusantara melaporkan bahwa hampir 10.000 hektar hutan telah ditebang antara 2020 dan 2024 untuk produksi biomassa. Hilangnya hutan ini mengancam habitat satwa liar langka, termasuk orangutan Sumatra dan Kalimantan. Oleh karena itu, penting bagi proyek SAF ini untuk memastikan bahwa bahan bakunya berasal dari sumber yang benar-benar berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan.
Dukungan dari Industri dan Pemerintah
Langkah Airbus dan IPB ini selaras dengan upaya pemerintah Indonesia dalam mendorong penggunaan biofuel. Pada Juli 2025, Kilang Pertamina Internasional (KPI) telah mulai memproduksi SAF dari minyak jelantah di kilang Cilacap. Selain itu, Indonesia sebagai produsen minyak sawit mentah terbesar di dunia telah melakukan uji konversi Crude Palm Oil (CPO) dan minyak goreng bekas menjadi bioavtur sejak 2021.
Uji terbang pertama dengan bioavtur dijadwalkan berlangsung pada Agustus 2025, asalkan bahan bakar tersebut lolos semua standar keamanan dan kualitas. Keberhasilan uji ini akan menjadi tonggak penting bagi industri penerbangan Indonesia.
Target Jangka Panjang
Kementerian Energi menargetkan pencampuran minyak nabati sebesar 1% dalam bahan bakar penerbangan pada 2027 sebagai langkah awal mengurangi ketergantungan pada impor minyak dan menekan emisi karbon. Target ini sejalan dengan visi Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) yang menilai SAF sebagai kunci menuju emisi nol bersih di industri penerbangan global pada 2050.
Airbus sendiri memiliki komitmen kuat untuk memperluas penggunaan SAF di seluruh armadanya. Perusahaan ini telah melakukan uji terbang menggunakan 100% SAF pada beberapa model pesawatnya, membuktikan bahwa bahan bakar tersebut dapat berfungsi optimal tanpa modifikasi signifikan pada mesin.
Tantangan Implementasi
Meskipun prospeknya menjanjikan, ada beberapa tantangan utama yang harus dihadapi sebelum SAF berbasis biomassa dapat diimplementasikan secara masif di Indonesia:
-
Infrastruktur dan Distribusi – Pengumpulan biomassa dari berbagai daerah memerlukan jaringan logistik yang efisien.
-
Teknologi Pengolahan – Dibutuhkan teknologi canggih untuk mengubah biomassa menjadi SAF dengan kualitas tinggi.
-
Kepastian Regulasi – Pemerintah perlu menetapkan regulasi yang jelas terkait pemanfaatan biomassa untuk energi.
-
Sertifikasi dan Standar – SAF harus memenuhi standar internasional untuk memastikan keamanan penerbangan.
Dengan mengatasi tantangan ini, kerja sama antara Airbus dan Indonesia berpotensi menjadikan negara ini sebagai salah satu produsen SAF terbesar di dunia.
Kemitraan strategis antara Airbus dan IPB membuka peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi pemain kunci dalam pasar bahan bakar penerbangan berkelanjutan. Dengan sumber daya biomassa yang melimpah, dukungan pemerintah, dan komitmen industri, Indonesia berada pada posisi yang tepat untuk memimpin transformasi energi di sektor penerbangan.
Keberhasilan proyek ini tidak hanya akan mengurangi jejak karbon penerbangan, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru, memperkuat kemandirian energi, dan meningkatkan citra Indonesia di kancah internasional sebagai negara yang berkomitmen pada keberlanjutan.
Baca Juga:Biodiesel B50 Dijadwalkan 2026, Awal Tahun Kemungkinan Batal Diluncurkan















